17. Kesempatan terakhir

52 8 0
                                    

"Fathir balikan."

Aima mengernyit kemudian mengangguk paham. Apa laki-laki itu tidak malu menjalin hubungan lagi setelah membuat geger kemarin?

Melihat Aima mengangguk dengan gelagat seperti orang berpikir membuat Ahan menghela nafas. "Kenapa?" tanya Aima mendengar helaan nafas pacarnya.

"Gimana pendapatmu tentang Fathir balikan?" Bukannya menjawab, Ahan melempar pertanyaan.

"Kalau boleh jujur, aku agak kurang setuju setelah mereka bikin heboh satu sekolah. Tapi, seharusnya mereka lebih ngerti kan sama hubungan mereka? Jadi, ya aku nggak mau komentar apa-apa karena pasti udah diomongin baik-baik."

"Ganteng aku apa Fathir?"

Pertanyaan macam apa ini. Jelas-jelas sekarang ini Ahan lebih tampan daripada Fathir. "Kamu nanya gini karena tahu dulu aku suka Fathir, ya?" tebak Aima tepat sasaran.

Masih dengan senyum tidak terbendung sangking gemasnya pada Ahan, Aima mengusap rambut pacarnya itu. Tidak disangka, memiliki pacar bernama Farhan Abhista semenyenangkan ini. Menggoda, bercanda, mengobrol hal random sampai serius, menggosip, mencoba hal baru, dan belajar mengejar mimpi. Semua itu dia lakukan dengan perasaan senang sampai menantikan hari esok, keseruan apa lagi yang akan mereka lakukan.

"Ahan. Aku suka waktu kamu cemburu kayak gini. Lucu tahu nggak," ucap Aima.

"Susah-susah aku bangun image cowok cool, kamu malah bilang aku lucu," balas Ahan tak terima. Masih manyun dengan Aima yang setia mengusap rambutnya.

"Mau kamu cool, lucu, malu-malu, kamu tetep pacarku yang paling keren!"

Ahan menatap penuh selidik. "Jawab cepet. Ganteng aku apa Fathir?"

"Kamu!"

"Kerenan aku apa Fathir?"

"Kamu!"

"Suka aku apa Fathir?"

Ahan, bagaimana menjelaskan sifat kekanak-kanakan yang terlihat menggemaskan di mata Aima?

"Tergantung. Emang kamu suka Aima?"

"Suka, lah."

"Sebanyak apa sukamu sampe berani suka Aima?" tanya Aima dengan wajah sok serius.

Ahan pura-pura berpikir. "Nggak bisa dihitung karena terlalu banyak. Intinya sebanyak itu sampe bisa bikin Aima balik kanan dari temenku."

Untuk kali ini, Aima tidak bisa menahan tawanya. Keduanya tertawa melepas penat, tidak peduli dengan orang yang menatap mereka seperti orang gila. Biarkan mereka menikmati waktunya, biarkan mereka melupakan semua masalah yang dihadapinya, dan biarkan mereka tertawa bahagia tanpa memikirkan dunia.

Sepasang kekasih dengan jas almamater kampus berjalan melewati mereka. Seakan pertanda bahwa mereka dihadapkan oleh dunia perkuliahan yang berbeda membuat mereka berhenti tertawa. Ada hal yang harus dia bicarakan dengan Ahan tentang masalah ini.

"Aku kalau nggak lolos UTBK, stay di Surabaya."

"Jadi ambil teknik kimia di UI sama ITS?" tanya Ahan mengikuti topik yang dibicarakan Aima.

Aima menggeleng. "Karena ini kesempatan sekali keluar Surabaya, aku mau ambil teknik kimia UI sama teknik industri UNPAD."

Masalah perempuan yang seringkali tidak diperbolehkan kuliah luar kota memang sering terjadi. Ahan memahaminya, orang tua pasti khawatir mengingat Aima adalah anak perempuan pertama dan dia bangga Aima menggunakan kesempatannya dengan sebaik ini.

"Kamu, gimana? Ambil UI semua?" tanya Aima.

"Enggak. Aku ambil UI sama IPB. Aktuaria semua."

"Nanti kalau kita LDR, nggak papa, kan?" Aima memberanikan diri bertanya hal yang memang sudah seharusnya dibahas.

Tidak Ahan kira bahwa pembahasan tentang hubungan jarak jauh akan secepat ini dibahas oleh Aima. "Aku nggak masalah. Hubungan lewat chat, telepon, video call, dan lainnya masih bisa. Asal percaya satu sama lain, dijalani dengan niat dan tujuan yang bagus, semua bakal baik-baik aja, insyaallah."

"Aku nggak bisa nemuin Ahan di manapun. Begitupun kamu, nggak bisa nemuin Aima di manapun," balas Aima tersenyum. Mengeratkan genggaman tangan Ahan.

"Nanti kalau ada masalah, kita harus bicarakan baik-baik ya. Aku nggak mau kamu pendem masalah sendirian, kita harus saling ngobrol terus. Jaga pandangan kamu Ai. Orang ganteng emang banyak tapi Ahan cuma satu."

"Aku juga cuma satu. Rugi banget kalau kamu putusin aku!"

"Kamu juga jangan putusin aku," balas Ahan menyenderkan kepalanya di bahu Aima.

Perasaan Aima memiliki pacar bukan memiliki bayi semanja ini. Dirinya masih belum siap jika mereka akan melakukan hubungan jarak jauh semisal itu terjadi. Aima memang diperbolehkan mencoba mendaftar kuliah di luar kota, tapi restu Mami bukanlah yang utama? Apa bedanya dia mencoba tapi restu Mami tidak menyertainya.

"Kamu tahu, Han? Mami nggak pernah doain aku kuliah di kampus yang aku pengen. Tapi sebaliknya, Mami selalu doain aku kuliah di kampus yang buat aku sukses. Entah di manapun itu, walau tanda kutip Mami masih belum rela aku keluar kota. Jadi, aku pengen nyoba daftar kampus luar Surabaya. Mungkin orang mikirnya, daftar yang realistis aja. Tapi, ini kesempatan terakhirku. Aku juga mau nyoba daftar kampus yang aku impikan."

Ahan diam mendengarkan. Alasan yang Aima berikan untuk mendaftar sesuai keinginan bukanlah sesuatu yang salah. Justru kesempatan tersebut memang harus dipergunakan sesuai keinginan. Memang harus realistis tapi kesempatan terakhir untuk mendaftar luar kota tidak akan datang lagi.

"Dari SD, aku pengen ambil SMP 1 Negeri. Tapi, Papi nggak ngebolehin dan berakhir aku disuruh SMP Swasta dengan janji bahwa nanti kalau SMA aku boleh pilih sesuai keinginanku. Ternyata janji itu nggak ditepati sama Papi. Aku sekolah di SMA yang nggak pernah terbayang buat masuk kesini. Tahu kok, ini SMA bagus. Tapi, ini bukan keinginanku. Sampai saat ini, aku masih belum merasakan sekolah sesuai keinginanku."

Ahan tersenyum bangga. "Kali ini, Aima. Ini waktunya kamu pilih sesuatu sesuai keinginanmu. Aku bangga sama kamu. Inget ya Ai, masih ada aku."

Mendengar ucapan Ahan yang mengatakan kalimat keramat 'Aku bangga sama kamu' membuatnya tidak bisa menghentikan air matanya yang menetes. "Aku takut kalau aku gagal lagi. Takut banget ada yang bilang kalau ini kegagalan pertamaku. Orang-orang selalu ngelihat kegagalanku adalah sebuah kesuksesanku sampai saat ini. Han, aku takut sama semua ini."

"Orang-orang akan selalu melihat yang baik-baik, Ai. Orang nggak akan peduli bagaimana rasanya memperjuangkan semua itu. Mereka nggak akan mau tahu dibalik layar dari kesuksesanmu kayak gimana. Nggak papa. Mereka nggak perlu tahu semua itu. Kita bagikan yang baik-baik aja. Tentang bagaimana kita dibalik layar, itu urusan kita sama Allah SWT."

Sembari mengusap rambut Aima, Ahan melanjutkan ucapannya lagi. "Menyembunyikan dibalik layar kesuksesan kita juga termasuk kesuksesan, Ai."

"Kamu bijak banget. Beda sama aku yang dikit-dikit ngeluh sambil nangis," ucap Aima menengok ke arah Ahan.

"Alhamdulilah, bijakku kepake buat kamu berarti."

"Nyebelin banget?" ucap Aima. Merasa ingin mengambil lagi ucapannya.

Tidak memedulikan ucapan Aima, Ahan memeluk Aima erat, menyalurkan rasa sayang pada pacar pertama dan terakhirnya. "I love you Aima."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





____

10-08-24

Balik Kanan [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang