3. Perguruan tinggi

96 14 0
                                    

Dengan wajah lesu, Aima masuk ke dalam ruang BK. Dia sedikit terkejut karena banyak orang-orang yang datang untuk berkonsultasi masalah perguruan tinggi. Ternyata bukan dia saja yang dipanggil tapi beberapa anak kelas lain juga dipanggil.

Aima menemui Pak Riyad. Beliau menyuruhnya duduk di kursi depan. Perasaan saat ditanya tentang perguruan tinggi, Aima masih belum yakin ingin melanjutkan kemana. Dia ingin memilih namun dia juga mendapat tuntutan dari orang tua untuk kuliah di Surabaya saja.

"Aima absen pertama di kelas 12 IPA 3. Gimana Ai? Sudah tahu mau kuliah di mana?" Pak Riyad mengawali.

"Mungkin sudah, tapi kayaknya minta restunya susah," jawab Aima jujur. Tidak ada yang ditutup-tutupi.

Pak Riyad tersenyum. Sudah biasa beliau menangani masalah restu kuliah, jadi sudah terbiasa dengan jawaban tersebut. "Emang mau kuliah di mana Ai?"

"Pengennya sih di UI Pak. Tapi, kalau emang masih belum dapet restu, aku ambil ITS aja karena nggak dibolehin keluar Surabaya."

Pak Riyad manggut-manggut. "Bagus, berarti kamu sudah punya rencana ya kalau masih nggak dibolehin. Sekarang jurusan yang mau kamu ambil apa?"

"Teknik kimia Pak."

"Okay Ai, Bapak rekap dulu ya pilihan kamu. Eh, Kamu pengen di UI kan? Itu Ahan anak kelas IPA 1 juga mau ambil UI. Sana ngobrol bareng," suruh Pak Riyad menyuruh Aima duduk di sofa dekat Ahan.

Pak? Yang bener aja disuruh ngobrol sama Ahan?

"Yakin ambil teknik dengan nilai fisika lo yang kemarin?" Ahan bertanya dengan nada yang sedikit mengandung meremehkan.

Aima spontan menyuruhnya diam. Telunjuknya saja sudah mengisyaratkan bahwa Ahan tidak boleh berkomentar tentang jurusan yang diambil.

"Kenapa ambil UI?" tanya Ahan tiba-tiba.

Perempuan itu diam sebelum menjawab. "Pengen aja." Ahan kurang puas dengan jawaban Aima. "Gue ambil aktuaria by the way."

Nice info Farhan Abhista!

"Kalau mau di UI, kenapa nggak minta tolong Pak Riyad buat ngomong ke ortu lo?" Aima menoleh kemudian memutar bola matanya malas. "Han, nggak semuanya itu gampang diobrolin. Gue anak pertama, Mami gue udah bayangin kehidupan gue di Jakarta sampai nikah padahal gue belum lulus SMA tahu nggak?!"

Ahan tertawa cukup keras setelah mendengar sekilas cerita dari Aima. "Manja ya lo kalau di rumah?"

"Dih, enak aja!"

"Guys, kalian kayaknya happy banget ngobrolnya. Nggak mau balik kelas? Betah ya konsultasi berkedok pedekate?" Pak Riyad berkata sambil tersenyum penuh arti seperti mengusir.

Aima berdiri, begitupun Ahan yang langsung pamit untuk kembali ke kelas. "Ai, panggil absen dua suruh kesini ya," suruh Pak Riyad yang diangguki Aima.

Sesampainya di kelas, Aima menyuruh Bintang untuk ke BK karena laki-laki itu adalah absen 2. Eva mendatangi mejanya dengan bekal makanan yang dia bawa. "Lancar?" tanyanya menyendok satu suapan.

"Ya gitu. Lo rencana mau ngelanjutin ke mana?" tanya Aima ikut mengeluarkan kotak bekal hasil memasak tadi pagi.

"Intinya Surabaya," jawab Eva enteng. Keduanya memiliki masalah yang sama. Bedanya, Eva benar-benar tidak diperbolehkan sama sekali meninggalkan Surabaya. Sedangkan Aima, perempuan itu tetap bisa memilih walau Mami tidak merestui.

Aima menghembuskan nafas perlahan. "Kita kenapa jadi anak perempuan pertama sih Ev?" tanya Aima. Ada nada menyesal dalam ucapannya.

Suapan demi suapan Eva masukkan, dia menikmati makanan Mamanya yang memang enak tiada tara. "Karena kita bocah keren," jawab Eva asal.

Balik Kanan [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang