16. Nemenin Pacar

58 10 0
                                    

"Ibu kalau nggak ngizinin kamu pergi foto, gimana?"

Ahan menunduk. Tidak dipungkiri tubuhnya lemah. Namun, dia ingin ikut bergabung dengan teman-temannya. Hanya ada satu kesempatan untuk mengenang bersama. Kali ini, dia tidak bisa menerima keputusan Ibu yang menyuruhnya untuk tidak ikut.

"Bu, aku masih kuat lho," balas Ahan mencoba memberitahu bahwa dirinya kuat untuk ikut.

Sebagai penonton, Ayah tidak ikut campur. Tapi, melihat putranya yang sepertinya ingin ikut, beliau jadi tidak tega. "Biarin aja, Ahan ikut. Kasihan kalau kamu larang."

"Dia sakit lho. Aku larang karena ada alasannya. Siapa coba yang jaga dia kalau ambruk di pantai?" Ibu sewot karena Ayah tidak sepemikiran.

Entah kenapa, Ayah malah manggut-manggut. Beliau tengah berpikir siapa yang akan menjaga putranya di saat teman kelas Ahan sibuk berfoto. Malah merepotkan jika menyuruh teman kelasnya untuk menjaga.

"Oh! He has girlfriend. Ya, kan? Bawa aja pacarmu. Ayah sama Ibu juga nggak bisa ikut kamu. Tapi, kalau kamu ajak pacarmu mungkin aja dia bisa? Memang merepotkan, sih. At least, Aima nggak ikut foto yearbook kelasmu."

"Nggak. Aku bisa jaga diri aku sendiri. Aima sibuk liburan."

"Oh? Ya udah kamu siap-siap dulu. Entar Ayah Ibu pikirin siapa yang jaga kamu."

Ahan menurut. Berganti pakaian dengan kemeja warna biru yang sengaja tidak dikancingkan karena memakai kaos putih didalamnya. Tidak seperti tema yearbook Aima yang sangat kompleks, kelas Ahan lebih memilih tema yang santai dan bersyukur mereka mendapat jadwal saat sekolah libur.

Setelah menyiapkan semuanya dan dirinya sudah oke. Tampan sekali. Tunggu, kenapa outfit yang dipakai malah membuatnya seperti wibu? Untungnya dia memutuskan untuk mengganti kacamata yang biasanya dia pakai. Atau, apa dia tidak usah pakai kacamata saja ya saat foto?

Sayup-sayup terdengar suara familiar di ruang tamu, Ahan berdecak melihat Aima dan Aldi yang sedang asik mengobrol dengan Ayah dan Ibu. Kedatangannya ke ruang tamu juga tidak mengalihkan pembicaraan mereka. Hanya Aldi yang tersenyum kearahnya. Bertanya bagaimana kondisi Ahan setelah mendengar dirinya sakit dan memaksa ikut foto yearbook.

"Aima cantik, titip Ahan ya. Tante juga minta tolong sama Aldi. Anaknya Tante ini, hobinya bikin orang khawatir soalnya. Kamu, Han! Awas kalau ambruk! Jangan dipaksain kalau emang nggak kuat. Kamu naik mobil bareng sopirnya Ayah. Aima sama Aldi juga ikutan."

"Bu, kok malah ngerepotin pacarku sama adiknya. Aku lho, nggak papa sendirian sama temenku. Orang aku udah bilang ke temenku kalau aku lagi nggak fit, jadi mohon dimaklumi semisal emang nggak kuat foto."

Ayah hanya menyimak. Beliau mempersilahkan Aima dan Aldi untuk menikmati cemilan yang disuguhkan. Tidak usah didengarkan perdebatan antara Ibu dan anak yang tidak akan kunjung selesai sebelum salah satu dari mereka mengalah.

Meletakkan gelas yang tadinya masih penuh menjadi habis ke meja, Aima merasa harus turun tangan. "Ahan. Aku udah izin sama Hilmi. Kamu nggak ngerepotin siapapun di sini. Justru Aldi yang malah aku suruh kerja jagain kamu biar temenmu nggak nanya-nanya tentang kita. Tugas kamu itu, nikmatin semua momen foto bareng temenmu. Sedangkan tugasku dan Aldi, lihat kamu dari jauh. Mastiin kalau kamu nggak bakal ambruk. Kita nggak deketin spot tempat kamu, kok."

"Iya, Kak. Kita juga pengen healing tipis-tipis biar nggak suntuk sekolah mulu. Dan pastinya, nggak ngerepotin sama sekali. Justru malah makasih udah diajakin ke pantai."

Ucapan-ucapan seperti itu malah membuat Ahan merasa bersalah. Terlalu merepotkan sekali dirinya. Sampai Ahan menatap Aima, perempuan itu melihatnya dengan tersenyum hangat. Menyiratkan bahwa semuanya tidak merepotkan untuknya. Tapi, Ahan tetap Ahan. Sebanyak apapun kalimat yang keluar demi membuatnya merasa lebih baik– yang nyatanya malah membuat dirinya merasa bersalah, Ahan tetap merasa bersalah.

Balik Kanan [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang