6. Aima versi baru

75 12 0
                                    

Aima membuka buku kimia, Miss Indra mulai menjelaskan dan mereview ulang tentang bab kelas 10 yang mereka tidak paham. "Saya pikir saya cuma mau mengulas sedikit, tapi ternyata kalian sama sekali tidak paham ya dengan yang Pak Riko jelaskan?" Ada sedikit kemarahan dan banyak keheranan di suara Miss Indra.

Guru terbaik yang anak IPA miliki adalah Miss Indra. Beliau merupakan guru yang paling bisa menjelaskan pembelajaran dengan baik. Tulisannya rapi dan suka memberi latihan soal, membuat murid-murid jadi berlatih dan mendengarkan dengan baik.

Hal itu mereka syukuri dan menyesal mengapa tidak sedari dulu mereka mendapatkan guru sehebat ini. Malah justru di kelas 10 dan 11, mereka diajar oleh Pak Riko yang isinya hanya mereview sedikit dan menyuruh belajar berkelompok tanpa menjelaskan dengan baik. Apalagi paling parah, beliau sering menceramahi atau melempar candaan yang tidak lucu, membuat suasana kelas jadi canggung.

Aima mengeluarkan kacamata yang baru kemarin diambilnya. Memakainya walau dia terlihat agak malu. Duduknya yang di belakang jadi tidak terlihat dengan teman-teman yang sibuk mendengarkan. Pergerakan Aima masih kaku. Iqbal yang disampingnya menatap terkejut. Mulutnya sampai terbuka dan menunjuk apa yang Aima pakai, bertengger manis menutupi kedua matanya.

"Ai. Akhirnya ya lo pake juga," ucap Iqbal pelan. Aima hanya tersenyum menanggapi. Masih kaku dan malu untuk memakainya.

Selain mengeluhkan pada keluarga dan Eva, Iqbal lah yang sering dijadikan sebagai pinjam-meminjam catatan karena matanya yang tidak bisa melihat dari kejauhan. Jadi, laki-laki itu tidak terlalu terkejut dengan apa yang tengah dipakainya.

Tok tok tok

Pintu kelas terbuka, menampilkan sosok laki-laki bertubuh normal sesuai laki-laki dan menghampiri Miss Indra yang sedang duduk di kursi, menunggu murid-murid selesai mencatat apa yang beliau catatkan di papan tulis.

Semua anak kelas tahu siapa yang datang. Laki-laki itu, Ahan, berbicara pelan pada Miss Indra yang langsung beliau suruh untuk duduk di bangku nomor 2 dari belakang karena kebetulan Andhi sedang duduk di kursi Zena yang hari ini tidak masuk sekolah.

Betul, tempat duduk itu berada di depannya. Ahan mengernyit heran. Tentu heran melihat perubahan Aima yang tiba-tiba menggunakan kacamata sepertinya. Seakan pura-pura tidak tahu keberadaan Ahan, Aima melanjutkan kembali menulis catatan.

"Boleh pinjem pensil?" tanya Ahan menghadap kearah Aima.

Tanpa menjawab, Aima menyerahkan pensil kayunya. Ahan mengambilnya dan mengatakan terima kasih. Di sini Aima tahu alasan laki-laki itu ke kelasnya. Ahan lagi-lagi susulan ulangan. Sesibuk apa dia sampai melewatkan 2 ulangan sekaligus, fisika dan kimia.

"Dia nggak terganggu apa ya kalau Miss Indra lagi jelasin atau kelas kita berisik," bisik Iqbal. Aima juga berpikir seperti itu tapi melihat pembawaan Ahan yang tenang saat mengerjakan susulan, sepertinya jawabannya tidak. Iya, Ahan tidak terganggu dengan lingkungan kelasnya.

Seakan tengah diperhatikan, Aima menoleh ke depan dan benar saja, dia menjadi tontonan keheranan teman kelasnya. Eva bahkan sampai mau berdiri jika saja Miss Indra tidak memelototinya tajam. Aima memang tidak mengatakan siapa-siapa tentang kacamata dan izinnya kemarin yang pergi periksa mata ke temannya termasuk Eva.

"Minus berapa? Gue kaget banget lihat lo pake kacamata," ucap Zidan yang duduk didepan Iqbal sedikit pelan.

"Tebak lah," jawab Aima menantang.

"Satu? Nggak mungkin lebih dari dua soalnya masih baru," jawab Zidan yakin.

Aima menggeleng. "Tetot."

"Dih? Minus berapa lo emang?" Zidan tidak percaya jawabannya salah. "Amboy amboy, minus setengah rupanya," ucap Zidan lagi dengan nada yang dibuat manja seakan menggoda sekaligus mengejek.

"Kiri emang setengah sih," jawab Aima mengangguk. Tidak terlalu mempedulikan ucapan Zidan yang diselingi godaan dan ejekan.

"Dua koma tujuh lima mungkin yang kanan," jawab asal manusia didepan Aima. Iqbal dan Zidan saja melongo dibuatnya, bahkan disaat susulan pun Ahan masih bisa ikut membalas orang di belakang.

"Eh maaf ya Han omongan kita ganggu lo," balas Zidan kemudian memberi isyarat kepada Iqbal dan Aima untuk tidak melanjutkan obrolan.

"Bener nggak Ai tebakan gue?" Bukannya membalas ucapan Zidan, Ahan memilih menanyakan tebakannya pada Aima.

Miss Indra please, orang didepan saya malah join obrolan belakang.

Iqbal komat-kamit memberi isyarat dari gerakan bibirnya 'Udah jawab aja. Biar dia nggak marah keganggu kita.'

"Iya bener," jawab Aima pelan. Setelahnya Iqbal dan Zidan kembali ke kesibukan masing-masing. Tidak berani membuat Ahan yang sedang susulan jadi terganggu karena mereka mengobrol.

"Oh? Ini yang kemarin toh Ai."

Seketika ucapan Ahan membuat pergerakan Zidan dan Iqbal terhenti, dan Aima merasakan canggung yang luar biasa disaat Iqbal dan Zidan menatapnya penuh tanda tanya.

---

"Ih sumpah, jahat banget sih lo! Kok nggak bilang lo pake kacamata!"

Eva sudah berapi-api memarahi Aima. Perempuan itu kecewa karena tidak diberitahu kapan Aima periksa dan mendapatkan kacamata. "Habis buat akun kemarin kan gue izin. Itu gue periksa."

"Sok-sokan misterius banget heran, padahal gue pengen jadi orang yang pertama ngetawain lo pake kacamata!"

Ya, makanya lo nggak gue kasih tahu.

"Minus berapa?" tanya Eva.

"Kanan setengah, kiri dua koma tujuh lima."

Rasa kaget mendengar jawaban Aima tentu bisa dilihat di ekspresi Eva. "Anjir, kok bisa langsung gedhe. Sekarang lo harus sayangi dua mata lo. Gilak kali ya minus segedhe itu."

"Iya bawel."

"By the way, you're very beautiful with glasses."

"Heleh."

Aima diam. Tiba-tiba rasa ingin dia cerita tentang ketidaksengajaan bertemu dengan Fathir datang. Agaknya, dia menimbang beberapa menit apakah dia harus bercerita atau tidak.

"Ev, waktu izin ke BK kemarin, Fathir juga izin juga."

Eva menoleh. Mulai mendengarkan cerita yang mengarah ke laki-laki kemarin yang membuat Aima sedih. "Okay. Terus?"

Sebelum membalas, Aima tertawa lebih dulu. Eva yang melihat jadi merasa janggal. "Nggak tahunya izinnya ke tempat yang sama."

"Ok– wow." Eva bertanya lagi. "Dia periksa?"

"Mungkin iya soalnya nebus obat dan nama dia yang dipanggil." Aima menunduk. "Ada kesenjangan sosial Ev, soalnya dia nggak pake BPJS. Makanya namanya dipanggil."

Eva sabar. Sabar sekali sampai ingin menendang kaki Aima jika dia tidak lupa bahwa itu candaan menutupi kesedihan yang sayangnya, sangat lucu di telinga Eva.

"Doi dianter sama Ahan ternyata."

"SUMPAH LO KAYAK DIKASIH PERTANDA NGGAK SIH AI? LO TUH DISURUHNYA SAMA AHAN! BUKAN SAMA YANG ONOH! DUH KANDIDAT PERTAMA PASTI MENANG!"

Dan setelahnya, Aima menyesalkan keputusan untuk bercerita, karena teman kelasnya menyorakinya. Yakin, berita ini akan gempar kemana-mana jika mulut setiap teman kelasnya dibiarkan terbuka begitu saja.

 Yakin, berita ini akan gempar kemana-mana jika mulut setiap teman kelasnya dibiarkan terbuka begitu saja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

____

29-06-24

Balik Kanan [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang