11. Lambat seperti siput

57 10 0
                                    

Suara gemuruh hujan menemani kelas yang sunyi. Masing-masing dari temannya, sibuk tidur siang atau bermain ponsel dengan volume paling kecil seperti menyalakan mode jangan ganggu. Aima sendiri sibuk berkutat dengan tugasnya yang masih belum selesai, sembari memikirkan alasan dibalik wajah dingin yang diberikan Ahan padanya.

Selama tiga hari mereka bertemu dengan tidak sengaja, Ahan selalu menatapnya sinis secara terang-terangan. Aima jadi bingung, apakah benar Ahan marah karena ucapannya? Saat dipanggil, dia juga tidak menoleh, seakan tidak mendengar bahwa ada yang memanggilnya.

"Ev, gue ngerasa bersalah sama Ahan," keluh Aima jujur. Lawan bicaranya mengernyit heran. "Ahan marah sama lo gara-gara kemarin?" tanyanya balik.

"Mungkin. Gue emang udah keterlaluan sih, ngomongnya," aku Aima sadar.

Ketara sekali Aima galau, apalagi ditemani suara rintikan hujan deras yang membasahi Surabaya. Lagu yang diputar lewat televisi juga mendukungnya. Pilihan lagu Iqbal memang tidak ada lawan.

"Mungkin lo bisa tanya Fathir? Secara, dia kan temen deketnya."

Usulan Eva agak ekstrim. Bukan, bukan gara-gara Aima tidak bisa mengontrol perasannya, yang tentu dia sudah bisa mengontrol, melainkan dirinya memang takut jika Fathir mengintimidasi dirinya. "Gue cuma asal bunyi Ai. Jangan dilakuin beneran," ucap Eva lagi, takut jika temannya melakukan idenya.

"Ide lo agak ekstrim emang. Tapi, mungkin bisa membantu gue nggak sih? Gue ke lo aja cerita. Masak Ahan nggak cerita ke Fathir– kalau dia emang beneran marah sama gue? At least, dia tahu alasannya kenapa sampe nggak mau ngomong ke gue."

"I am happy for you Ai. You made it! Sorry alay, gue beneran terharu lo bisa mengesampingkan perasaan lo sama Fathir– demi kandidat nomor satu."

"Stop saying that ah. Kandidat nomor satu apaan, yang ada gue tambah dimarahin kalau dia sampe denger."

Setelah mengatakan pada Eva, Aima keluar kelas, berdoa semoga apa yang tengah dicarinya secara tiba-tiba keluar dari kelas juga. Kan, tidak mungkin, jika dia mencari Fathir dengan sengaja di kelasnya. Bisa-bisa, gosip panas tentang laki-laki itu akan muncul dalam versi kedua.

Bersyukur, doanya dikabulkan. Fathir keluar dari kelas dengan menenteng botol air minum. Aima menghampiri tanpa merasa takut. "Halo Fathir. Gue Aima dari kelas IPA 3. Boleh ngobrol sebentar nggak?" sapa Aima, mencoba fokus untuk menjalani misinya.

"Waduh. Ada apa nih? Boleh-boleh aja sih. Tapi, jangan lama-lama ya? Gosip gue tentang kemarin soalnya belum reda," pintanya kelewat jujur, membuat Aima yang mendengarnya jadi merasa bersalah karena merepotkan laki-laki itu.

Tahu bahwa mengobrol dengan berdiri sangatlah tidak sopan, Aima membawa Fathir untuk duduk di depan kelasnya. Memang di setiap depan kelas, akan ada kursi memanjang untuk digunakan duduk. "Sorry sebelumnya, mungkin pertanyaan gue, rada aneh. Tapi, kalau boleh tahu, Ahan lagi ada masalah ya? Terutama masalah sama gue? Dia ada cerita nggak ke lo?"

Mengerti bahwa perempuan itu rela mendatanginya hanya gara-gara Ahan yang bersikap sok marah, membuat Fathir ber-oh ria. "Dia masih nggak mau ngomong?"

Kepala Aima terangkat, begitu menyadari bahwa laki-laki di sebelahnya tahu penyebab dari mogoknya Ahan dengannya. "Gue nggak tahu jelas ya. Lo tanya sendiri aja deh, takut salah ngomong gue."

"Tanya sendiri gimana? Dipanggil aja nggak nyahut." Aima menghela nafas panjang. "Minta tolong ya Thir, gue beneran mau minta maaf tentang omongan gue waktu itu. Tapi, dia kayaknya nggak mau buat ngobrol sama gue. Bilangin, gue nunggu dia mau ngobrol."

Usai berucap tentang permintaannya pada Fathir, bersamaan dengan itu, Ahan datang, tak sengaja melihat mereka berdua bersama. Dalam hati, Aima berkata, ini waktunya untuk meminta maaf. Tidak dengan Ahan, laki-laki itu balik kanan, enggan bertemu dengan Aima. Sekeras apapun Aima memanggilnya, dia tetap tidak mau menoleh ke sumber suara.

Perasaannya masih belum siap untuk mendengar hal ini. Ternyata, Aima langsung pasang badan ketika mendengar berita kemarin. Padahal tahu, sekarang ini Fathir masih dibicarakan banyak orang, kenapa malah perempuan itu mendekati sumber topik?

Intinya, Ahan tahu bahwa perempuan itu menyukai temannya, Fathir. Tidak perlu repot-repot mendengar dari orang lain, Ahan sendiri sudah dibuat mengerti dengan semua clue tersirat yang diberikan Aima. Hanya orang-orang berkepribadian peka tingkat tinggi, yang mampu mengerti.

"She's just not into you Han," ucapnya pada diri sendiri.

"Cepet amat Pak, jalannya. Aima ngerasa bersalah tuh, sama lo," ucap Fathir, yang entah sejak kapan mulai menyamai langkahnya.

"Apa yang lo rasain waktu Aima ngomong ke lo?" tanya Ahan, mulai memercik sedikit api.

"Nggak ada. Dia ngomongin lo, kenapa gue ditanya perasaan gue deh? Pertanyaan nggak mutu!" balasnya mengejek. Bingung juga tiba-tiba ditanya perasaannya.

Fathir tidak merasakannya. Lalu, apa yang perempuan itu salurkan pada temannya?

"Serius Han, dia nanyain lo. Katanya ngerasa bersalah dan minta waktu ngobrol sama lo."

Ahan mengernyit, merasa bersalah dalam hal apa? Ucapannya kemarin? Dia tidak memikirkannya, tuh.

Fathir berdecak. "Emang siapa sih yang habis putus selain gue, yang buat Aima jadi berpaling sama lo?!" tanyanya murka, akibat Ahan tak menceritakannya secara rinci.

Bodoh. Ngomongin diri sendiri.

"Dia nggak berpaling dari gue, karena cowok itu duluan yang lebih dulu Aima suka," koreksi Ahan, melirik Fathir dengan perasaan getir.

"Langka. Seorang Ahan insecure? Good job Aima! Akhirnya Farhan Abhista merasakan yang namanya insecure!" ucap Fathir bangga, memberikan dua jempolnya.

Ucapan Fathir barusan mendapat desisan tajam Ahan. Memang dia mengakui bahwa dia insecure, tapi, melihat respon temannya yang malah senang, jadi membuat dirinya makin kesal. "Udahlah Han. Ngobrol sama Aima dulu. Bisa aja dia udah move on. Cara lo ini, bikin bingung Aima malahan."

Dia paham betul jika Aima akan memikirkan yang aneh-aneh tentang dirinya. "Mending Aima kasih tahu perasaan lo. Lo tahu? Pacaran menjelang masuk kuliah, bukan ide yang buruk kok."

"Tunggu, lo beneran suka Aima kan?"

Pertanyaan macam apa itu. Tapi, Ahan mengiyakan dalam hati. Fathir cukup tahu sekelebat ceritanya saja, tidak boleh keseluruhan. Dia masih punya urat malu dan pasti akan ditertawai habis-habisan kalau orang yang disukainya menyukai seorang Fathir, bukan dirinya.

"Kalau enggak– lanjutin aja marah lo. Biar Aima sekalian benci karena mau minta maaf nggak dibolehin," ucap Fathir  yang Ahan tahu, itu adalah sebuah ejekan.

"Biar apa lo ngomong gitu?" balas Ahan sengit.

"Biar lo sadar. Udah deh, nggak usah banyak petingkah. Laki bukan sih. Ngomong suka, kok takut. Lo jadi tahu rasanya jadi orang yang lo tolak kan, kalau gini."

Kenapa ucapannya jadi melantur kemana-mana?

"Gue belum ditolak, monyet."

"Tapi, ada kemungkinan ditolak, kan?"

"Jaga mulut lo Thir. Susah-susah gue deketin, lo malah ngomong gitu. Istighfar nggak? Takut di aamiin-in sama yang lewat."



___

11-07-24

Cantik banget. Part 11 di tanggal 11.

Aku harap, aku bisa mempertahankan setiap tanggal cantik ini <3

Part ini ditulis kemarin malam dan dilanjut nulis jam 2 pagi. Finally, dipublikasikan jam 6-an pagi

Balik Kanan [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang