"Mami sita HP-mu 1 minggu," ucap Mami tidak bisa dibantah.
Aldi nampak tidak terkejut. Laki-laki itu sadar diri bahwa minusnya mulai bertambah semakin tinggi dan tidak ada alasan juga untuk membantah ucapan Mami. "You can use a laptop for school," ucap Mami lagi jika putranya bingung bagaimana urusan sekolahnya.
"Kapan kacamata kalian jadi?" Papi bertanya, memecahkan keheningan makan malam setelah apa yang diucapkan Mami.
"Besok pulang sekolah. Aku aja yang ngambil Al, sekalian mau beli sesuatu sekitar situ," jawab Aima melirik adiknya yang masih diam.
Makan malam berujung tenang. Aima sesekali berdehem ketika gestur Mami seperti masih ingin menceramahi Aldi. Dia tidak bisa membiarkan Mami marah terus-terusan pada Aldi karena bisa-bisa besoknya adiknya itu akan membolos sekolah tak mau walau sudah dipaksa.
"Aku udah selesai," ucap Aldi, meletakkan piring dan gelasnya di kitchen sink. Baru berjalan selangkah, dia berbalik badan, mulai mencuci satu-persatu alat makan yang habis dipakainya.
Melihat hal itu, Aima jadi terbatuk-batuk sendiri. Papi juga melongo tidak percaya melihat pemandangan yang sangat luar biasa ini. Memang benar, kemarahan Mami menimbulkan sifat rajin dan baik hati seperti sekarang ini.
"Sekalian ya. I didn't know you were this good," ejek Aima tersenyum geli kemudian meletakkan semua alat makan kotor yang habis dipakai untuk makan malam. Aldi berdecak menatap kakaknya tak percaya. "Selamat menjadi anak baik selama 1 minggu," bisik Aima dan berlari sebelum mendengar teriakkan Aldi yang meneriakkan namanya.
---Jam pelajaran sudah berganti, tapi Aima masih belum bangun dari kemalasannya. Energinya terkuras ketika Miss Balfern menjelaskan tugas-tugas untuk memenuhi nilai ujian biologi. Kepalanya disandarkan pada meja. Capek sekali Aima pagi ini.
"Are you okay Ai?" Iqbal bertanya, mengintip dari tempatnya untuk melihat keadaan teman sebangkunya.
"Yes, i am. Kenapa Bal?" balas Aima, tak biasa Iqbal menanyakan keadaannya atau tak biasa ada teman yang memperhatikan dirinya.
"Nope. Gue cuma nanya, takutnya lo udah nggak bernyawa disebelah gue."
Ucapan Iqbal berhasil menarik senyum di wajah perempuan itu. "Takut beban lo berkurang ya?" telisik Aima tertawa. Sedangkan Iqbal hanya geleng-geleng kepala mendengar balasan absurd yang teman kelasnya itu ucapkan.
"SAYANGKU AIMA," teriak Eva masuk kedalam kelas yang Aima sendiri baru tahu bahwa temannya dari tadi belum kembali di jam biologi.
Dengan tampang wajah sok polos, Eva berbisik. "Let's go chit-chat with mereka. Lo bisa nanyain cowok-cowok! terutama about Fathir ke mereka! yang tentu nggak bakal diceng-cengin karena tujuannya cuma chit-chat aja." Eva menunjuk ke salah satu gerombolan perempuan di luar. Ada beberapa teman perempuannya yang satu ekskul dengan Fathir, ada juga yang mengenal Fathir jalur teman SMP, dan ada juga yang pacaran dengan teman Fathir. Semua lengkap ada di sana.
Saat tak sengaja mendengar gerombolan mereka, Aima tanpa sadar penasaran. Rasa takut mengusik privasi Fathir kalah dengan rasa penasarannya tentang laki-laki itu. "Guys, can we join with you?" tanya Eva menarik lengan Aima sambil memberi wajah tak biasa. Salah satu dari mereka mengangguk, tentu mereka disambut baik.
"Eh, kalian tahu nggak? Gue rasa anak IPA 2 tuh pada pacaran sama temen sekelas deh," ucap Sinta, salah satu gerombolan.
Tiva yang notabenenya pacarnya teman Fathir menggeleng tidak setuju. "Ta, lo lupa sama gue?" balasnya tak terima. Sinta meringis kemudian berdehem pelan. "Kecuali Tiva sama pacarnya maksud gue," balasnya membenarkan yang langsung diacungi jempol oleh Tiva.
"Fathir? Dhika? Satria? Mereka gimana? Pacarnya juga sekelas?" Aima bertanya, padahal dia tidak tahu apakah Fathir memiliki pacar atau tidak, dan untuk nama laki-laki yang dia sebutkan tadi, itu hanya cara untuk menutupi penasarannya pada Fathir.
Nina yang kebetulan teman SMP Fathir menoleh ketika nama teman SMP-nya disebut. "Fathir ya? Setahu gue dia sama Yasa sih dan emang sekelas. Kalau Dhika pacarnya beda sekolah, Satria? Dia enjoy sama status single-nya alias belum punya pacar."
Eva melirik ke arah Aima, perempuan itu seperti menahan sesuatu. Menepuk bahu temannya pelan, Eva seperti sadar bahwa temannya ingin pergi meninggalkan gerombolan ini. Maka dengan pekanya, Eva berpamitan mengajak Aima dan mengaku tiba-tiba bahwa mereka belum mengerjakan tugas.
"Doi udah ada yang punya ternyata," ucap Aima seakan menyadarkan dirinya sendiri. Eva tidak mau berkomentar, membiarkan temannya duduk dan menenggelamkan wajahnya dengan tangan yang menutupinya.
Mungkin mengagumi dari jauh sudah cukup. Sekelebat ucapan Eva terlintas di benaknya. "Ev, emang bener ya kalau gue cuma kagum sama dia?" tanyanya mengangkat wajah.
Pikiran Aima lumayan kacau. Pagi tadi energinya terkuras, sekarang energinya menipis hanya kuat beberapa jam saja. "Nggak seharusnya lo sedih buat Fathir. Buang-buang energi Ai," balas Eva, tidak mempedulikan pertanyaan Aima barusan.
"I know. Gue cuma agak kaget aja terus ngerasa emang nggak seharusnya gue sedih buat Fathir yang emang bukan siapa-siapanya gue."
"Bawa motor? Entar gue anter aja. Badan lo dari tadi nggak fit kalau gue perhatiin."
Aima menggeleng pelan. "Gue dijemput Aldi. Duh, lihat wajah lo, gue jadi pengen ketawa tahu nggak!" Tidak disangka, Aima tertawa begitu keras, membuat seisi kelas keheranan menatapnya.
Tapi itu tak berlangsung lama karena perempuan itu dihadapkan kembali ke realita. Masa SMA, kelas terakhirnya sebagai masa sekolah terakhir, perempuan itu, Aima, mundur teratur dengan perasaan yang tak terbendung. Dia menyadari bahwa kisah percintaan di SMA-nya sudah berakhir di titik ini. Dia tidak boleh memaksa dan tidak boleh melewati batasnya.
"Ai, Just focus on yourself first. This trash romance, don't have to drag it on for long." Eva memeluk temannya.
Bagi beberapa orang, ini mungkin terlalu lebay. Namun, untuk yang pernah merasakan, ini bukan sebuah kelebayan semata. Bayangkan saja laki-laki yang kamu kagumi ternyata sudah menjalin hubungan, terlebih perasaan kagum mu itu termasuk kategori baru, setelah sekian lama tidak mengagumi seseorang.
Efek Fathir memang dahsyat, tapi tidak sedahsyat itu sampai membuat Aima sedih yang sampai membuatnya menangis. Ini baru permulaan bahwa dirinya dihadapkan dengan kisah percintaan yang tidak berjalan mulus seperti yang ditontonnya di drama.
"Tapi Ai, walau bukan waktu yang tepat, lo bisa balik kanan dengan pilih salah satu temen Fathir," bisik Eva. Aima sampai bergidik ngeri mendengarnya.
Menganggap ucapan Eva sebagai angin lalu, Aima tak mau melakukannya. Benar-benar tidak mau. Bulu kuduknya saja sampai berdiri. Konyol dan gila jika mendengar ucapan Eva yang semakin ngelantur tak tahu arah.
"Kandidat pertama. Farhan Abhista!" seru perempuan itu mantap setengah berteriak.
___
26-06-24
KAMU SEDANG MEMBACA
Balik Kanan [End]
Dla nastolatkówAnak SMA sering kali berpikir bahwa kehidupan romansa seperti yang ada pada novel atau drama kesukaannya akan tiba. Aima baru saja mendapatkan kisahnya di kelas 12. Dia terlalu serius dalam mengejar pendidikan, sampai lupa bahwa percintaannya juga h...