Part 4

325 49 1
                                    

"Waaah, lihat pengantin baru kita ini. Wajahnya berseri-seri sekali. Pasti Arya hebat banget ya." Alena menggoda Sera begitu pelukan mereka terurai.

Sementara Danu dan Rima, kedua orang tua Arya hanya tersenyum mendengar gurauan Alena. Mereka sangat bahagia karena kedua anak mereka kini sudah berumah tangga dengan orang-orang yang tepat.

Suami Alena, Soni adalah seorang dokter. Pria itu sangat sabar menghadapi sikap cerewet Alena. Keduanya sudah dikaruniai dua putra yang sangat menggemaskan. Kini Danu dan Rima tengah menanti cucu dari anak bungsu mereka yang baru saja menikah.

"Kak Alena apaan sih." Wajah Sera tampak memerah seperti kepiting rebus. Sangat malu dengan candaan Alena yang menyinggung seputar statusnya sebagai pengantin baru.

"Nggak usah malu-malu. Sekarang kan kita udah bener-bener jadi keluarga."

Sera tampak memberengut lucu, sementara Alena tergelak puas. Sera kemudian menyapa Soni dan kedua putranya. Selanjutnya ia bercipika-cipiki dengan kedua orang tua Arya yang terlihat sangat bahagia menatapnya.

"Kalian jadi berangkat lusa?" Tanya Rima setelah Sera mendudukkan diri di sampingnya. Menantunya itu mengangguk antusias, membuat Rima kembali tersenyum senang.

"Mama harap pulang dari Bali kalian bawa oleh-oleh cucu."

"Mama apaan sih. Baru juga nikah kok udah bahas cucu."

Arya muncul di ruang tamu setelah meletakkan koper-kopernya. Ia menyapa kakaknya dan seluruh keluarganya, kemudian mendudukkan diri di samping Sera.

"Ya nggak apa-apa lah. Mama kan udah antusias pengen cucu lagi. Tapi mama nggak maksa lo Sera. Kalau kalian berdua masih pengen senang-senang berduaan dulu sih Mama nggak masalah. Intinya, apapun keputusan kalian mama dukung selagi itu membawa kebaikan."

"Makasih Ma."

Sera memeluk ibu mertuanya itu dengan erat. Sementara Arya tersenyum hangat. Seandainya saja saat ini hatinya sudah terbuka untuk Sera, mungkin hidupnya benar-benar sudah sempurna. Memiliki keluarga yang baik, kakak dan ipar yang baik, serta istri yang baik seperti Sera. Sayangnya semua itu seperti hampa untuk Arya.

Mungkin suatu hari nanti ia bisa membuka hati untuk Sera. Arya akan berusaha untuk tidak mengecewakan mereka semua. Sejauh ini wanita yang bisa masuk ke dalam keluarganya hanya Sera. Tak butuh waktu bagi mereka semua untuk menerima keberadaan istrinya itu. Mungkin karena mereka sudah mengenal Sera sejak kecil.

Arya hanya bisa berharap agar suatu saat ia bisa mencintai Sera. Menjadikan wanita itu satu-satunya di hidupnya, dan kelak mereka bisa menua bersama dengan anak-anak mereka.

**
"Yakin nggak mau ngambil kado dari papa?" Tanya Abian saat ia, Arya dan Sera makan malam bersama. Besok putrinya itu akan bulan madu ke Bali. Sebenarnya Abian cukup menyayangkan keputusan Sera. Pasalnya ia sudah membelikan tiket bulan madu ke Eropa untuk keduanya. Namun Sera menolak karena tidak mau pekerjaan Arya menumpuk setelahnya.

"Lain kali aja Pa. Belakangan ini pekerjaan Arya banyak banget. Kasihan kalau nanti numpuk-numpuk habis bulan madu."

"Arya itu kan owner. Ngapain repot mikir begituan. Iya kan Ar?"

"Kalau Arya sih nurut Sera aja Pa. Masalah kerjaan, itu nggak ribet sebenarnya. Masih bisa ditunda atau aku wakilkan kok."

"Nah itu, suami kamu aja nggak masalah."

"Pa, mungkin aku emang belum minat aja. Nanti rencananya kalau aku udah punya anak, aku berencana bertiga ke Eropa. Biar asyik gitu."

"Udah, terserah kamu aja. Yang penting kamu happy, Papa nurut aja."

Sera menyengir manja, Abian mengelus rambut putrinya itu sambil tersenyum hangat. Apapun yang menjadi pilihan Sera, ia akan selalu mendukungnya asalkan itu sesuatu yang baik. Abian berharap, keduanya segera memiliki momongan agar kebahagiaan mereka lengkap.

Selesai makan malam, Abian duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi, sementara Arya dan Sera beristirahat di kamarnya. Seharian ia sudah sibuk bekerja dan kini saatnya refreshing. Meskipun ia tidak terlalu suka menonton televisi, tapi setidaknya menonton acara komedi sedikit merilekskan otaknya yang seharian tegang karena bekerja.

Saat ia fokus pada televisi, sekelebat bayangan Bi Rohmi terlihat lewat. Dan beberapa saat kemudian, wanita itu kembali melewati ruang tengah.

"Bi." Bi Rohmi yang mendengar panggilan majikannya segera berbalik kemudian berjalan menuju Abian.

"Ada apa Tuan?"

"Tadi kayaknya bibi terburu-buru ke atas. Ada apa Bi?"

"Eh, itu Tuan. Non Sera ada tamu. Jadi saya cepat-cepat kasih tahu."

"Tamu, malam-malam gini?"

"Nona Vivi Tuan."

"Oh, Vivi. Tumben malam-malam gini bertamu."

"Katanya mau pinjam catatan milik Non Sera. Tadi gitu kalau bibi nggak salah dengar."

"Oh, ya udah. Bibi bisa kembali ke dapur."

"Iya tuan. Saya permisi dulu."

Abian mengangguk kemudian meneruskan acaranya menonton TV. Beberapa saat kemudian, matanya mulai mengantuk dan ia ingin tidur karena besok masih harus bekerja.

Sementara di ruang tamu, Sera menatap kesal pada Vivi yang kini cengengesan di hadapannya. Bisa-bisanya jam segini wanita itu kemari karena ingin meminjam catatannya waktu kuliah dulu. Alhasil Sera harus kerepotan karena mencari catatan itu.

"Sebenarnya untuk apa catatan sialan ini. Ayolah Vi, kita sudah tidak kuliah lagi."

"Maaf Sera. Tapi karena hari ini aku magang, banyak yang harus aku pelajari secara mendadak. Dan kau tahu kan catatan ini sangat penting untuk anak magang sepertiku."

"Kau bisa bertanya pada kakakmu Vivi. Kenapa harus repot-repot meminjam catatan sana-sini. Dasar kurang kerjaan."

"Sudahlah. Tidak usah sewot begitu. Lagi pula ini masih jam sembilan malam. Masak jam segini kau sudah mau melakukan kegiatan intim dengan suamimu, hehehe."

Mata Sera melotot seketika mendengar omongan ngawur Vivi. Kenapa selalu saja omongan mereka menjurus ke kegiatan seperti itu. Padahal Sera sama sekali tidak berpikiran ke sana. Tapi otak mesum Vivi terus aja mengarah ke sana dan itu membuat Sera jadi malu sendiri.

"Dengar ya Vi, ini bukan masalah hal itu. Tapi kau ini sering kemari dengan alasan tidak penting dan menyebalkan. Tidak bisakah kau kemari untuk main-main saja tanpa menyuruhku mencari harta karun seperti sekarang?"

"Aaaah, Sera, kenapa kau perhitungan sekali. Apa kau tidak mengingat persahabatan kita selama bertahun-tahun?"

Sera memutar bola matanya jengah. Setiap ia komplain dengan tingkah menyebalkan Vivi, gadis itu selalu beralasan seperti itu. Membuat Sera jadi tidak bisa menolak apapun permintaan Vivi.

"Eh, Vivi, sudah lama?"

Sera dan Vivi menoleh, mereka menatap papa Sera yang kini berjalan ke arah mereka.

"Eh, Om Abian, belum lama kok Om. Ini tapi sudah mau pulang. Kayaknya ini udah kemalaman dan Sera udah ngebet banget pengen tidur sama suaminya."

Sera seketika mendelik kesal ke arah Vivi. Wanita itu tetap acuh tak acuh, membuat Sera sangat kesal melihatnya. Sementara Abian geleng-geleng kepala, Vivi sudah seperti putrinya sendiri. Gadis itu sejak remaja sudah kerap bermain ke rumahnya bahkan tidur di sini. Kadang ketika bepergian, Abian juga membawakan Vivi oleh-oleh yang sama dengan Sera karena saking seringnya Vivi menginap.

"Ya sudah. Kalian ngobrol-ngobrol saja. Ini Om mau tidur, kecapean nonton TV tadi."

"Tidur nyenyak ya Om. Ini Vivi juga udah mau pulang."

Abian mengangguk kemudian meninggalkan keduanya di ruang tamu. Ia tidak menyadari, tanpa sepengetahuan Sera, Vivi menatapnya dengan tatapan yang berbeda pasca kepergiannya.

Bittersweet Marriage ( On Going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang