14 - Dear, Mas Suami Sepupu!

171 16 0
                                    

Selamat membaca!

°°°

Suasana masih sama, Bintang masih sendirian dirumah kala Abi pergi bekerja. Kembali menjalani kehidupan seperti biasa di kota ini. Di sini, segala hal baru sudah ia lalui. Bintang banyak mengenal kota ini, yang sebelumnya ia sendiri tak memiliki keinginan untuk tinggal di kota Solo.

Berbeda dengan Bintang dengan kesendirian di rumah, Abi berada ditempat kerjanya. Tetapi, sama seperti Bintang. Di sini, ia juga melalui hal-hal baru. Bahkan, semua pekerjaannya harus ia urungkan dan membangun bisnis baru di kota ini. Dengan kata lain, ia lebih fokus pada urusan dan pekerjaannya di kota ini.

Seperti saat ini, Abi duduk di ruangannya menghadap ke jendela luar. Ia dapat melihat sebuah tempat penitipan anak dari tempatnya. Sekilas ia melirik jam ditangannya. Tempat itu ramai karena sore hari telah tiba. Abi tersenyum simpul, mulai muncul bayangan khayalannya akan beberapa hal.

"Kamu benar, Bi. Aku juga mau kita punya anak dan rawat anak kita sampai besar," gumam Abi yang semakin memperhatikan pemandangan disana.

Cukup lama ia memperhatikan suasana tersebut. Hingga kini tubuhnya beranjak dari kursi. Abi mengemasi barang miliknya yang berada di atas meja. Pekerjaannya sudah selesai sejak satu jam yang lalu, tapi ia enggan beranjak dari tempatnya.

Abi melirik sekilas jam berwarna hitam yang berada di pergelangan tangan kanannya. Sedikit tidak percaya jika saat ini waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Ia teringat sesuatu dirumah. Bintang pasti menunggunya.

Sesegera mungkin ia keluar dari sana. Seperti biasa, ia menitipkan kafenya pada salah satu karyawannya. Abi jarang mendatangi kafe, restoran, ataupun hotel miliknya. Ia sesekali datang dan mempercayakan begitu saja pada karyawannya. Meski begitu, ia tetap memantau dari jauh.

Abi sudah berada di dalam mobilnya. Ia cukup tidak sabar dengan jalanan sore yang sudah tidak diragukan lagi ramainya. Bahkan baru saja ia melajukan mobilnya berapa puluh meter dari kafenya, ia sudah terkena macet.

"Assalamualaikum, Bi." Akhirnya Abi menelepon Bintang. Ia takut Bintang benar-benar menunggunya.

"Waalaikumussalam, Mas. Belum pulang 'kan, Mas?" 

"Nah itu, aku masih dijalan. Macet."

Abi mengerutkan dahinya. Ia bingung, ramai sekali disana. Samar-samar, ia mendengar suara perempuan yang bukan Bintang. Setahunya, istrinya itu tak ada acara di luar yang mengharuskannya bertemu banyak orang.

"Sayang, kamu lagi dimana? Suaranya ramai," tanya Abi penasaran.

"Di teras rumahnya Mbak Tari, Mas." 

"Habis ngapain?" tanya Abi lagi.

"Tadi Mbak Tari nitipin Eca ke aku. Nanti aku ceritain di rumah deh, Mas. Takut Mas Abi gak fokus nyetirnya." 

"Ya sudah. Aku sebentar lagi sampai."

Obrolan mereka selesai begitu Bintang mematikan sambungan telepon itu dahulu. Ia sesegera mungkin harus pulang menyiapkan makan malam untuk keluarga kecilnya yang hanya dia sendiri dan Abi, suaminya. Abi pun sama, ia sesegera mungkin melajukan mobilnya saat jalanan mulai renggang.

°°°

"Sayang," panggil Abi seraya mengetuk pintu kamar mandi kamarnya.

Tak ada sahutan dari dalam sana. Namun, beberapa detik berlalu, pintu itu terbuka. Bintang keluar dari sana, berdiri dipintu menatap suaminya dengan senyumnya. Abi sebenarnya gemas dengan pipi istrinya itu kala sedang tersenyum.

Tangan Abi sudah terangkat dan hampir saja mengenai pipi Bintang. Namun, Bintang dengan cepat menjauhkan pipinya dari tangan Abi. "Mas, udah wudhu lho," ujarnya dan diakhiri senyumnya.

Dear, Mas Suami Sepupu! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang