Bab 18

2 0 0
                                    

Ethaniel berdiri di tengah kamar yang gelap, di mana sinar remang-remang dari luar hanya menyelinap masuk melalui celah-celah jendela yang tertutup rapat.

Bayangan-bayangan gelap menari-nari di dinding, menciptakan atmosfer misterius dan menegangkan di sekelilingnya.

Udara terasa dingin dan lembab, menciptakan sensasi tegang di udara. Di tengah kegelapan, Ethaniel merasakan ketegangan yang menggelayuti dirinya, seolah-olah ada sesuatu yang mengintip dari sudut gelap kamar tersebut.

Suasana hening hanya terganggu oleh desiran angin sepoi-sepoi yang masuk melalui celah-celah jendela, menambah kesan mencekam di dalam kamar yang gelap itu.

Ethaniel merenung dalam kegelapan dengan perasaan yang tak nyaman. Hatinya terasa berat, dipenuhi dengan kegelisahan dan kekhawatiran yang sulit untuk dijelaskan.

Di tengah keheningan kamar yang gelap, pikirannya melayang-layang ke dalam jurang pikiran gelap yang membingungkan.

Setiap napas yang dihembuskannya terasa sesak, seolah-olah beban yang dipikulnya begitu berat sehingga sulit untuk dilupakan.

Ethaniel mencoba mencari jalan keluar dari labirin perasaan yang menghimpitnya, namun kegelapan di sekitarnya hanya menambah rasa terjebak dan terisolasi.

Dalam keheningan itu, hanya suara degupan jantungnya yang terdengar begitu nyaring, mengingatkannya akan kehadiran dirinya sendiri di tengah situasi yang penuh dengan ketidakpastian dan ketidaknyamanan.

Ethaniel duduk termenung, memikirkan perkataan ibunya, tentang kemungkinan Kayla menjadi istri. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan dan keraguan, mencari jawaban yang tepat di tengah kebimbangan yang melanda.

Di benaknya, bayangan wajah Ibunya muncul dengan nasihat-nasihat bijak yang pernah disampaikannya.

Ethaniel merenung apakah keputusan untuk menjadikan seseorang sebagai pasangan hidup harus didasarkan pada nasihat orang lain ataukah keputusan pribadi yang didasarkan pada perasaan dan keserasian yang dirasakan.

"Gue harus apa, gue nggak mau salah langkah lagi. Terlalu gegabah membuat gua akan menyesali keputusan saat ini," pusing Ethaniel.

Dalam kegelapan pikirannya, ia mencoba merangkai puzzle emosi dan rasionalitas untuk menemukan jawaban yang paling sesuai dengan hati nuraninya. Setiap kata dari ibunya terdengar begitu berbobot, namun pada akhirnya, keputusan tetap berada di tangan Ethaniel sendiri untuk menentukan arah hidupnya, termasuk dalam memilih pasangan hidup yang tepat.

Sementara perasaan Ethaniel masih tertuju kepada Alinka, dan bayangan perempuan itu masih menghantui dirinya, terasa hadir di setiap sudut pikirannya.

Meskipun berusaha untuk memfokuskan perhatiannya pada pertimbangan tentang Kayla, namun Alinka tetap hadir dalam setiap langkahnya.

Bayangan Alinka seperti bayang-bayang yang sulit untuk dihilangkan, mengingatkannya pada kenangan manis dan pahit yang pernah mereka lewati bersama.

Rasanya seakan-akan Alinka masih ada di sekitarnya, meskipun kenyataannya jauh dari kenyataan fisik. Perasaan itu terus membeku di dalam hatinya, membuatnya sulit untuk melupakan dan melepaskan ikatan emosional yang pernah terjalin di antara mereka.

Ethaniel merasa terjebak di antara dua dunia, di mana masa lalu dengan Alinka terus menghantuinya sementara masa depan dengan Kayla menanti di cakrawala. Dalam kegelapan perasaannya, ia mencoba menemukan jalan keluar yang paling tepat untuk hatinya yang berbunga-bunga namun terbelenggu oleh kenangan masa lalu.

-

"Ngga perlu, Bunda, Ayah. Gak usah bawa-bawa hukum, Alinka gak apa-apa, fansnya juga udah minta maaf," tenang Alinka kepada kedua orangtuanya.

"Gabisa, Ayah tetap gak terima, siapa mereka bisa berbuat jahat pada anak Ayah."

"Biar diproses ya nak, ikuti kata Ayah kamu, ini biar dia jera, biar dia menyesali kebodohannya,"

Alinka menatap kedua orangtuanya memohon, "Please, gak usah diperbesar lagi. Alinka beneran udah maafin mereka. Ayah, Bunda, Alinka mohon jangan diperpanjang lagi."

Dalam percakapan yang penuh dengan ketegangan, Alinka mencoba untuk menenangkan kedua orang tuanya yang terus membesar-besarkan masalah.

Dengan sikap yang tenang, Alinka menegaskan bahwa dia sudah memaafkan fans yang melakukan kesalahan dan tidak ingin masalah diperbesar lebih lanjut.

Meskipun Alinka sudah memaafkan, ayahnya tetap tidak bisa menerima perlakuan tersebut dan ingin memberikan pelajaran agar orang lain menyesali tindakannya.

Alinka memohon kepada kedua orang tuanya untuk tidak memperpanjang masalah tersebut dan meminta agar tidak ada tindakan lebih lanjut.

Dengan penuh kelembutan, kedua orang tua Alinka luluh dan setuju untuk tidak memperpanjang masalah tersebut. Namun, ayahnya tetap ingin memberikan pelajaran kepada Kayla sesuai dengan caranya sendiri.

Keputusan tersebut menunjukkan perjuangan Alinka untuk menyelesaikan masalah dengan damai dan menunjukkan kedewasaannya dalam menangani konflik.

Hari ini, setelah menunggu sebulan penuh, Sarah dan Kavi akhirnya resmi menikah. Sarah terlihat cantik memakai gaun putih bersama mahkota di kepalanya, menambah kesan anggun dan elegan pada penampilannya. Pernikahan mereka berlangsung dengan megah, dihadiri oleh 2 ribu tamu undangan yang turut memeriahkan acara spesial ini.

Suasana pernikahan dipenuhi dengan kebahagiaan dan cinta, di mana Sarah dan Kavi saling berjanji untuk menjalani kehidupan bersama dalam suka dan duka. Momen bahagia ini menjadi bukti dari cinta yang tumbuh di antara mereka dan komitmen untuk saling mendukung dalam setiap langkah perjalanan hidup mereka.

Dengan kehadiran keluarga, sahabat, dan kerabat yang turut merayakan, pernikahan Sarah dan Kavi menjadi momen yang tak terlupakan dan penuh berkat. Semoga kebersamaan mereka selalu dilimpahi kebahagiaan, keberkahan, dan kecintaan yang abadi dalam perjalanan hidup pernikahan mereka.

"Kamu kapan nyusul," senggol Kevan pada Alinka, sementara Alinka hanya tersenyum menanggapi.

"Lo aja sendiri belum nikah," sahut Sangga yang juga ada bersama mereka.

Ethaniel tentu bersama kekasihnya saat ini, Kayla.

Alinka terlihat bahagia menatap hari istimewa sahabatnya. Semoga Alinka juga bisa berada di tahap seperti itu.

"Oh iya Lin, Arina di sini lho, ayahnya juga diundang," atensi Alinka beralih kepada Sangga.

"Beneran? Dimana?" tanya Alinka, celingak-celinguk mencari keberadaan Arina.

Kevan yang tidak asing dengan nama itu lantas bertanya, "Bocil kematian?" tanya Kevan diangguki Sangga.

Terlihat Sangga sedang menghubungi seseorang, dan tak lama setelah itu Arina datang dengan seorang pria matang di sebelahnya.

"Lah bang, kapan ke Indo?" tanya Kevan yang menyadari kehadiran pria itu. Kevan mengenal karena pria itu adalah kakak sahabatnya.

"Kemarin."

Arina tampak antusias melihat Alinka, bahkan ia melepas genggaman papanya hanya untuk bergandengan dengan Alinka.

"Ayina kangen," kata Arina kepada Alinka.

"Sama, Tante juga kangen sama Arina," jawab Alinka.

Interaksi mereka tak luput dari pandangan Ethaniel di sana, Alinka pun menjadi pusat perhatian pria ganteng itu.

Merasa diperhatikan, Alinka menoleh ke arahnya. Tiba-tiba tangan pria itu terulur untuk berkenalan dengannya.

"Saya Jerico Rowan, Papa Arina,"

Alinka menyambut tangan itu dengan lembut, "Alinka Raisa."

Mereka saling berjabat tangan, sekitar 5 menit tidak dilepaskan oleh Jerico. Sangga pun berdeham untuk menyadarkan abangnya.

Jerico merasa salah tingkah setelah melepaskan tautan tangan mereka, dan tanpa sadar memegang rambut belakangnya.

Reaksi tersebut mungkin terjadi secara refleks atau karena kebingungan dalam situasi yang tidak terduga. Jerico mungkin merasa canggung atau malu atas tindakannya tersebut, namun hal tersebut bisa menjadi momen lucu atau menggemaskan dalam interaksi mereka.





the art of letting goTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang