Bad Savior

1.3K 141 109
                                    

Dalam kehidupan yang satu kali ini. Mengapa Isabella harus merasakan kepedihan?

Dulu, ia pikir jatuh cinta sama manisnya dengan kembang gula. Nyatanya mengecewakan. Jayden Argezta ikut andil dalam setiap petih yang ia terima sampai tak ada satupun cara menyembuhkannya.

Setiap kali netranya tertutup rapat untuk tertidur lelap. Yang terasa hanyalah sesak tak beraturan hingga akhirnya ia memilih untuk terjaga. Namun kali ini,suhu badannya terlalu tinggi, kepalanya berputar hingga akhirnya mencuri seluruh keseimbangan tubuhnya. Ia runtuh.

Waktu berjalan maju da tepat saat Isabella kembali membuka matanya. Tubuhnya terasa hangat, sebuah tangan mendekap perutnya lembut.

Jayden disana

Jayden disampingnya

Isabella menolehkan kepalanya. Memandang wajah pria itu dari dekat. Semuanya terasa nyata,wajah Jayden yang sempurna, bibirnya yang terkatup serta netranya yang menutup seolah fantasi yang selama ini Isabella bayangkan. Jemari lembut wanita itu mengusap sisi wajah Jayden dengan bebas. Berusaha tak mengganggunya yang tengah terlelap.

"Ini nyata" gumamnya setelah memandang wajah suaminya sambil mengusap pipinya pelan. Kepala wanita itu menggeleng pelan.

"Aku gila" gumamnya.

Harusnya Isabella membenci Jayden atas semua yang pria itu lakukan untuknya. Bukan malah semakin jatuh dalam pesonanya.

Wanita itu lantas bangkit dari kasur sambil memegang pelipisnya menuju kamar mandi. Tanpa tau jika Jaydrn membuka matanya dan langsung memandangnya lama.

._____.

"Kak Bella masih suka nulis novel?" Wanita yang terbalut kaos putih dan celana jeans itu pun mengangguk. Sambil menyingkirkan surai nakal yang terbawa angin ia tersenyum pada Shenina yang datang untuk menengok ayahnya namun pada akhirnya harus berakhir di taman belakang rumah sakit.

"Kenapa emangnya?" Shenina menghela nafas kecil.

"Apa alasan kak Bella nulis novel?"

"Tumben kamu nanya gitu"

"Gapapa, pingin tau aja" Isabella menghela nafas kecil sambil mefaih minuman cup yang sebelumnya mereka beli di kantin rumah sakit. Cuaca hari ini begitu panas sampai sampai Shenina mengusap keringat di pelipisnya beberapa kali. Namun senyuman Isabella tak luntur sama sekali.

"Novel fiksi itu sebenarnya sebuah pelarian Shenina"

"Pelarian?" Isabella memgangguk.

"Disaat tuhan gak bisa kabulin takdir yang kamu mau. Menulis kisah sempurna adalah salah satu cara bahagia" Shenina menolehkan kepalanya.

"She, kehidupanku itu gak indah. Hidup dengan penuh kesederhanaan yang hanya manut pada orang yang membayar kita aja udah sebuah preasure. Belum lagi masalah ekonomi yang gak pernah selesai. Di usiaku yang ke 20 tahun ini, harusnya aku kuliah. Tapi pada kenyataannya?" Isabella tertawa miris.

"Fase jatuh cinta yang aku alami juga sama kerasnya. Cinta sendirian sampai berakhir setragris ini. Walaupun nikah sama orang kaya, realitasnya bukan bahagia malah nambah beban pikiran"

Shenina menyandarakan lengannya pada tangan kursi seraya mengusap perutnya lembut.

"Bener juga" jawab Shenina. "Kalau aku gak pernah nulis mungkin aku gatau bahagia itu seperti apa"

Shenina menoleh kemudian tersenyum kecil.

"Tapi, bukannya emang gatau ya?"

"Apa?"

"Bahagia itu kaya gimana?" Isabella tertawa.

"Iya sih. Makannya kalau nanti aku udah bahagia, aku gabakal nulis lagi" Shenina dan Isabella saling bertukar pandang kemudian tertawa. Tak yakin dengan keputusan Isabella namun keduanya berusaha nerjalan di arah yang sama. Dimana mereka percaya tuhan tak tidur.

Maka bahagia mereka tengah di bentuk.

Ya, setidaknya sebentar lagi.

Sebentar lagi

_______

Seorang gadis bersurai merah gelap berjalan menghampiri sang kakak yang tengah duduk di kursi kebesarannya. Fokus pada laptopnya hingga tak sadar jika sang adik sudah menatapnya lama.

"Gimana? Lo udah dapetin sesuatu?"

Arkhan yang semula fokus pada laptopnya langsung menoleh. Milena kini sudah mendudukkan dirinya di samping pria itu. 

"Tentang Jayden?"Milena mengangguk. 

"Akhir-akhir ini gue ngerasa ada yang aneh dari dia. Gue ngerasa kaya... Dia nyembunyiin sesuatu di belakang gue" Ujaran Milena membuat Arkhan menutup laptopnya cepat. Milena meraih gelas berisi wine diatas meja milik sang kakak lalu meminumnya. 

"Dan sepertinya ini berhubungan sama pembantu pribadi Jayden itu"

"Isabella maksud lo?" Milena mengangguk. 

"Siapa lagi, perempuan yang begitu dekat sama Jayden selain gue dan dia?"

"Apa buktinya?"tanya Arkhan penasaran dengan apapun tentang Isabella. Milena meletakkan kembali gelasnya. 

"Lo mungkin gaakan percaya, tapi malam dimana gue di bawa ke rumah Jayden beberapa waktu lalu. Gue liat mereka, kissing di taman belakang rumah" Ujar Milena. Lalu seperkian detik kemudian merogoh sesuatu dari balik tasnya. 

"Dan ini" Milena menyerahkan sebuah foto Isabella dan Jayden yang tengah saling merangkul dengan Isabella yang menggunakan dress berwarna navy serta Jayden yang terbalut jas hitam legam. Arkhan menatap foto itu lama sebelum menaikkan sebelah alisnya, menatap kearah adiknya penuh arti. 

"Kita punya pemikiran yang sama kan?" Arkhan langsung memasukkan foto tersebut pada saku jasnya. 

"Gue akan cari tau" Milena menghela nafas kasar kemudian menyandarkan pinggangnya pada sofa. 

"Ya, kalau bisa secepatnya"

Arkhan melirik pada sang adik yang sama frustasinya. Kehidupan Jayden sepertinya memang sengaja tak di ekspose media. Atau, lelaki itu pintar menyimpan rahasia? 

______

BAD SAVIORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang