31 || Reaksi Metana?

7.7K 1.3K 449
                                    

Ayo tembusin 1K vote sama 1K komen biar bisa cepet up🔥
.
.

Suasana subuh di kediaman Bratadikara dipenuhi dengan kesejukan udara pagi dan remang-remang sinar matahari yang mulai merangkak naik. Suara azan subuh berkumandang dengan khusyuk, menyelip di antara gemerisik dedaunan dan kicauan burung yang baru terbangun. Harmoni suara ini segera terdistraksi oleh teriakan Saka dari lantai bawah, memanggil adik bungsunya dengan nada yang tegas.

"Raka Sadina Bratadikara buruan! bapak udah nunggu di depan loh! jamnya salat subuh ini!" teriak Saka, yang sudah rapi dengan sarung yang baru diambil dari lemari, sulung Bratadikara itu menjadi yang pertama siap untuk berangkat ke masjid.

Di tangga, Naka yang masih setengah jalan ke bawah segera berbalik arah, menaiki anak tangga dengan langkah cepat. Dengan gemas, ia membuka pintu kamar adiknya, menemukan Raka yang masih setengah terjaga di tempat tidur.

"Raka masih ngapain sih? Pak ustaz nggak akan nungguin lo dateng buat mulai salat subuhnya, buruan!" seru Naka, memandang adiknya dengan tatapan yang bercampur antara khawatir dan kesal.

Raka, yang sempat kembali tertidur setelah terbangun oleh suara azan, langsung bergerak cepat, meloncat dari tempat tidurnya dan mulai bersiap-siap dengan panik. "Iya, Mas, iya."

"Lo tidur lagi?" tanya Naka, berdiri di ambang pintu kamar Raka dengan alis terangkat.

Raka melewati kakaknya dengan langkah terburu-buru usai meraih sarung dan peci, "Enggak, tadi, nggak sengaja. Ayo turun."

Seraya menutup pintu kamar adiknya, Naka menghela napas panjang, dan napasnya terlihat samar-samar di udara dingin subuh itu. Ia kemudian menyusul turun.

Di lantai bawah, cahaya lampu menerangi ruang tamu yang masih remang-remang. Raka segera disambut oleh kakak pertamanya yang berdiri dengan tangan berkacak pinggang dan ekspresi tidak senang terpampang jelas di wajahnya.

"Semalem lo begadang, ya?" tanya Saka, tatapannya tajam menembus kebohongan yang mungkin saja terlontar.

Raka dengan cepat menggeleng, ekspresi paniknya tak bisa disembunyikan. "Nggak, sumpah," jawabnya, mencoba meyakinkan kakaknya meskipun hatinya berdebar kencang.

"Telponan sama Sherina sampe tengah malem, Mas. Naka gak sengaja denger pas mau ke kamar mandi," sahut Naka dengan ringan dari arah belakang Raka, menambah bara pada api kemarahan Saka.

Mendengar itu, Saka tak segan menarik telinga Raka sambil berjalan ke luar rumah. "Kan! Segala sumpah tapi ternyata bohong! Kalo pacaran jadi bikin lo nakal begini, mending putus aja. Begadang kalo belajar, Mas bisa toleransi, kalo buat pacaran—"

Raka meringis kesakitan, mencoba mengikuti langkah kakaknya yang cepat tanpa tersandung. "Mas, sakit!" keluhnya, sambil berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Saka. Namun, Saka tetap kukuh, tak menunjukkan tanda-tanda akan melepaskan.

"Nggak ada ampun buat yang begadang cuma buat pacaran. Udah berapa kali Mas bilang, nggak ada izin pacaran kalo cuma bikin lo males-malesan," ceramah Saka sambil terus menarik Raka menuju halaman depan, di mana Bapak mereka sudah menunggu dengan sabar.

Naka mengikuti di belakang, menahan senyum melihat interaksi kakak-adiknya yang penuh dengan omelan di pagi hari.

"Eh, kenapa ini? Saka, kenapa Raka dijewer begitu?" Bapak segera mengeluarkan suara saat putra-putranya menginjak teras rumah. Ia seketika panik melihat Saka muncul sambil  menarik telinga Raka.

"Bapak, mas Saka—"

"Nggak usah ngadu, lo dengerin, Mas," tegur Saka dengan nada tegas. Ia menyeret adiknya menuju mushola, masih dengan cengkeraman kuat di telinga Raka.

Geng Bratadikara (SEGERA TERBIT) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang