35 || Beban Pikiran

6.3K 1.2K 654
                                    

- Geng Bratadikara kemungkinan terbit bulan November

- JANGAN NAGIH KALO BELUM 1K VOTE DAN 600 KOMENTAR

🔥🔥🔥

Sore itu, Saka pulang dengan raut wajah serius setelah menerima kabar buruk tentang adik sulungnya. Langkahnya tergesa-gesa, membawa aura kecemasan yang tebal. Ia mendorong pintu rumah dengan cepat, suara salamnya terdengar jelas, "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," jawab Raka, yang kebetulan muncul dari arah tangga.

"Dek, Naka mana?" tanya si sulung tanpa basa-basi, suaranya terdengar tegas dan penuh urgensi.

Raka jelas terkejut mendengar nada suara kakaknya. Ia menelan ludahnya karena merasa gugup. "Anu, Mas Naka belum pulang, Mas," jawabnya dengan suara agak gemetar.

Saka mengerutkan kening. "Belum pulang? Tapi Pangeran bilang dia udah balik dari setengah jam tadi," katanya.

Raka mengerutkan alis. "Siapa yang bilang? Pangeran? Itu nama atau julukan, Mas?" tanyanya.

"Nama. Naka nggak angkat telpon Mas dari tadi. Coba lo yang telpon, siapa tahu diangkat," kata Saka sambil membanting tubuhnya di sofa dengan gerakan kasar.

"Iya." Raka segera duduk di sofa yang berbeda dengan Saka, cepat-cepat mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Naka.

Namun, pikiran anak itu melayang. Ya Allah, perasaan ramalan cuaca hari ini cerah sampai tengah malam deh, kok Raka liat ada petir di muka Mas Saka padahal ini masih sore?

Dalam keheningan ruang keluarga, Saka dapat merasakan tatapan adik bungsunya yang sesekali mencuri pandang ke arahnya. Ia praktis mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh Raka. Akhirnya, ia menoleh ke arah adiknya dan bertanya dengan suara datar, "Kenapa?"

"Anu, itu Mas, Boleh nanya nggak sih?" tanya Raka dengan ragu seraya menunggu panggilan terhubung dengan Naka.

"Nanya apa?" tanya Saka, alisnya berkerut.

"Mas ngerokok, ya?" tanya Raka, tak yakin.

"Tau dari mana?"

Raka menggaruk kepalanya yang tak gatal sebelum menjawab. "Nggak tahu kenapa, tapi pas Mas nyampe tadi ada bau rokok. Makanya Raka nanya, ternyata bener."

Saka menghela napas, mengakui dengan suara singkat, "Cuma sebatang."

Raka mengangguk, netranya tak lagi berani menatap kakaknya. Namun, mulutnya mulai menggerutu. "Cuma sebatang katanya. Mau sebatang mau dua tiga atau sepuluh batang tetep aja bahaya banget buat kesehatan," ujarnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Saka.

Saka mendengarnya. Namun, ia memilih hening dan memejamkan matanya.

"Dalam satu batang rokok itu ada lebih dari 7.000 bahan kimia," lanjut Raka, nada suaranya mulai normal. "Ada nikotin, tar, karbon monoksida, amonia, dan bahkan formalin. Itu semua bisa ngerusak paru-paru, jantung, dan organ—"

Saka menghela napas. "Raka, Mas juga tau itu."

Raka tetap melanjutkan. "Kalo tau harusnya dihindari. Nikotin itu bikin kecanduan, Mas. Tar bisa bikin paru-paru hitam dan keras. Karbon monoksida bisa ngurangin oksigen dalam darah. Semua itu bahaya banget."

Saka kembali membuka matanya, lalu menoleh ke arah adiknya. Pandangannya lembut, meski tampak kelelahan yang mendalam di matanya. "Raka, Mas ngerti," katanya dengan suara tenang. "Mas nggak ngerokok setiap hari juga, kan? Mas nekat ngambil sebatang cuma karena Mas lagi banyak pikiran, itu bantu nenangin Mas. Kepala Mas ini, kalo diibaratin gunung aktif, pasti udah erupsi, Dek, bentar lagi bisa meledak."

Geng Bratadikara (SEGERA TERBIT) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang