“aku tidak pernah melihat kali ─ brengsek, apa yang kau coba lakukan padanya!?” jay berniat menarik tangan winter, saat lengan lain perempuan itu di seret paksa oleh heeseung.
ia menjadi satu-satunya yang bertingkah bak orang bodoh di sini, sebab kedua sosok di hadapannya terus membahas hal yang sama sekali tidak di mengerti nya.
“jeongseong, sebentar saja. tunggu di sana, aku tidak akan lama.” setelah sekedar meminta izin, jay yang lengah tak berhasil mempertahankan genggaman nya pada lengan winter.
sehingga heeseung dengan mudah meraih perempuan itu untuk mengikuti nya, melangkah masuk ke dalam ruang kerja.
dan sebelum jay ikut masuk, pintu ruangan itu tertutup dengan rapat. meninggal nya sendirian di lorong, sembari menggedor pintu ruangan yang tertutup itu.
“lee brengsek heeseung, kembalikan teman ku! bukan pintunya bodoh!”
sementara di dalam ruang kerja, kedua remaja berbeda usia itu nampak terdiam. mengabaikan, sepenuhnya tidak dapat mendengar teriakan jay di luar ruangan.
“lama tak berjumpa, minjeong. bagaimana kabar mu?” perempuan mungil sedari terdiam itu, sedikit di buat terlonjak oleh sapaan pria di hadapannya.
enggan menjawab pertanyaan tersebut, winter lebih memilih buang muka. di rasa terlalu malas untuk membalas tatapan manik kecoklatan heeseung.
“jadi kau, lee heeseung yang akan menjadi tunangan jay?” winter menyingkirkan tangan heeseung yang masih menggenggam paksa pergelangan tangannya,
“katakan pada ku. lelucon apa yang sebenarnya sedang kau lakoni sekarang ini, lee heeseung?” bukannya tersinggung dengan nada tajam yang di gunakan sang lawan bicara, heeseung justru di buat terkekeh oleh pertanyaan tersebut.
“ya itu aku, aku akan melangsungkan pertunangan bersama jongseong minggu depan. aku tidak memberitahu mu, karena kau selalu menolak bertukar nomor telepon. maaf ya, minjeong.”
nada jenaka pria itu tidak pernah berubah, sejak dulu heeseung selalu lah menjadi orang yang menganggap enteng segala hal. dan winter tidak suka dengan sikapnya itu.
sebelum perasaan kesal berubah menjadi suatu hal yang tidak di inginkan, ia berbalik mengambil langkah untuk meraih gagang pintu ruangan. berniat keluar dari sana.
tetapi lengan rapuhnya kalah cepat dengan gerakan tangan besar heeseung. pria itu sudah terlebih dahulu menahan gagang pintu ruangan, dengan menggenggam nya erat. memaksa perempuan mungil itu untuk membalas tatapan nya.
“kita perlu bicara minjeong,” ujar pria itu, yang terus mendapatkan tatapan tajam dari sang lawan bicara.
bagaimana pun heeseung harus berusaha bersikap lembut, karena tak mungkin untuknya terlalu memaksa winter. yang tentu ia sendiri ketahui, bahwa perempuan mungil itu benar-benar rapuh dari yang orang di luar sana bayangkan.
“tidak ada yang perlu kita bicarakan!”
“kau bahkan belum memberitahu ku bagaimana kabar mu, kau belum menjawab pertanyaan yang ku ajukan pada mu.” winter tidak dapat menahan perasaan kesal yang terus membuncah dalam dirinya. meski ia sebenarnya cukup tau, bahwa pria di hadapannya ini memiliki kepribadian yang jahil dan cukup konyol.
nyatanya winter tidak pernah menyangka bahwa sikap itu masih melekat pada heeseung, bahkan setelah ia beranjak menjadi pria dewasa.
kepalanya hampir pening membayangkan tingkah pria dewasa itu, yang lebih mirip seperti anak kecil nakal yang tak mau mendengarkan perintah orang tuanya.
“aku baik, sangat baik.” winter melemparkan senyum tipis, dan itu berlalu sangat cepat. sebelum kemudian wajah cantiknya kembali berubah datar,
“sekarang biarkan aku keluar.” ketusnya yang kembali mengeluarkan usaha untuk meraih gagang pintu ruangan.