Jiwon menatap lekat wajahnya yang membiru akibat serangan ayahnya. Dia meringis ketika mencoba menempelkan handuk basah ke sekitar area yang membiru.
Pantulan bayangan ibunya yang duduk membelakangi nya membuat hatinya sedikit nyeri. Punggung ibunya yang nampak ringkih dan kurus. Bagaimana mungkin ini semua terjadi kepada mereka?
Ibunya tidak lagi muda namun di usianya yang sudah senja ia harus menderita, dan hidup sambil terus merasakan khawatir bagaimana mereka akan hidup besok. Jiwon bahkan merasakan perasaan rendah diri yang seolah menariknya ke dalam jurang keputusasaan.
Dunia memang sebercanda itu. Bahkan terlalu lawak dengan takdir si bisu yang miskin. Tidakkah ini bagai pepatah jatuh lalu tertimpah tangga? Faktanya itu sangat menyakitkan.
Jiwon tak ingin larut dalam pikiran menyedihkan yang memenuhi otaknya. Ia lantas menggelengkan kepalanya lalu kembali menatap dirinya di depan cermin.
Ia kembali memastikan penampilannya. Dengan setelan jas hitam putih dengan rambut di gerai. Jiwon mengangguk seolah berkata pada dirinya kamu terlihat lebih baik hari ini. Semoga beruntung!
Eomma. Aku berangkat ya, doakan agar aku lolos wawancara hari ini! Mata Jiwon menatap dalam wajah ibunya.
Ujung jari tangan kanan U yang tegap menghadap ke depan, lalu ditempelkan di bawah daun telinga, kemudian mengepalkan tangan kanan lalu disatujan dengan telapak tangan kiri yang tegak menghadap kanan di depan dada. Lalu menautkan kedua tangannya kemudian menunjuj Jiwon sambil tersenyum lembut.
Ibu mendoakan yang terbaik untuk mu.
Gumawo Eomma. Bibir Jiwon bergerak pelan.
------
Lagi-lagi bangunan pencakar langit di hadapan Jiwon memberikan kesan dingin baginya. Nampaknya wawancara terakhir memberikan perasaan trauma.
Namun Jiwon tidak bisa berdiam saja bukan?. Di dalam sana mungkin dia akan kembali berhadapan dengan orang-orang yang akan mencibir dan memandangnya dengan aneh. Tetapi Jiwon tidak akan tunduk pada rasa takutnya karena dia tau itu akan membuatnya berdiam di tempat.
Kali ini dia kembali menanamkan harapan bahwa dia bisa lolos wawancara.
Dengan langkah tegas dia memasuki gedung. Tangannya memutih karena mengenggam erat ranselnya.
Kini Jiwon berada di depan sebuah ruangan yang tertutup ditemani oleh beberapa orang yang sepertinya juga melamar menjadi presenter seperti dirinya.
Seseorang dengan pakaian rapi, kemeja biru muda dengan celana putih membawa setumpuk kertas berhenti dihadapan para pelajar.
Matanya yang sipit dengan wajah dingin menatap satu persatu pelamar dihadapannya. Ia lantas segera membagikan lembaran kertas ke setiap pelamar. Tampa mengatakan sepatah kata, baru setelah semua kertas ditangannya habis dia membuka suara.
"Silahkan pelajari materi berita yang saya bagikan. Semoga beruntung!" Setelah mengatakan perkataan singkat lelaki itu segera berbalik meninggalkan para wajah kebingungan dari sejumlah pelamar.
"Wah... Apakah mungkin menghapal materi ini dalam waktu kurang dari 30 menit?!" Tanya seorang pelamar yang menatap tidak percaya pada lembaran kertas yang tidak kurang dari 8 lembar lebih.
Si lelaki telah berbalik tanpa melepaskan tampang dingin miliknya. Lalu menatap si pelamar yang bertanya barusan.
"Kalau segini saja kamu sudah mengeluh. Lebih baik jangan melamar menjadi presenter, bahkan kau mungkin tak akan bisa membayangkan bagaimana mempelajari berjilid-jilid materi dalam waktu 2 jam. Menyerahlah. Tempat ini bukan tempat untuk santai. Kau pikir menjadi presenter hanya harus membaca tesk berjalan dilayar. Buang itu pemikiran itu.kalian baru melamar kerja saja sudah banyak protes bagaiamana jika kau sudah berkerja." Pungkas lelaki itu dengan panjang lebar, bahkan kesan dingin yang dia tunjukkan diawal kini hilang tak tersisa. Siapa yang menyangka dia orang yang cukup cerewet.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Language
FanfictionKim Jiwon gadis bisu yang mengejar mimpinya sebagai seorang presenter. bertemu dengan penulis drama terkenal Kim Soo Hyun yang tengah dilanda depresi mencari ide untuk menyusun naska drama. Kisah keduanya terjalin karena insiden tidak sengaja. Beni...