2. Curhat Sama Bestie

60 5 4
                                    

Hari Senin waktunya ke perpustakaan kampus. Lima persen untuk membaca referensi skripsi, lima persen mengerjakan, dan sembilan puluh persen ngobrol plus jajan dengan teman-teman.

"Ke kantin yuk," ajak Nadia, si biang kerok yang suka mengajak foya-foya ini akhirnya bangkit dari kursinya. Sudah tahu kantong mahasiswa akhir itu rawan, dia tidak pernah bosan mengajak kami untuk selalu mengingat kantin dan jajanan.

Fira tampak menguap. Aku tahu dari tadi di depan laptopnya itu dia hanya menonton YouTube. "Ayok, gue laper. Pengen makan mie."

Mendengar mie imanku jadi goyah, tapi aku sudah janji pada diri sendiri untuk berhemat. "Astaghfirullah, kalian yakin mau ke kantin? Ayok, gue juga ikut."

Kami bertiga berakhir di kantin dan menyeduh mie cup.

"Lo tahu nggak pas bimbingan kemarin bab 3 gue dibantai. Beuh, kena mental gue sama dospem pertama. Padahal udah pd banget bakal di acc," keluh Fira.

Aku mencoba tersenyum, kasihan juga dia.

"Yang paling parahnya adalah dosen pembimbing gue kemarin udah berangkat dinas ke Surabaya. Apes gue! Padahal udah revisi dan berharap banget minggu ini bisa bimbingan."

"Sabar ya, Fir, gue juga sama, nggak bisa bimbingan minggu ini. Dospem gue lagi sakit," keluhku.

Nadia tampak asyik mengunyah mie-nya. Dia sudah aman karena tinggal menunggu ujian sempro minggu depan. Setidaknya sudah satu langkah lebih maju.

"Gue kesel banget, kemarin di nikahan sepupu gue orang-orang pada nanya kapan wisuda. Ya ampun udah nggak bayarin uang semester, malah desak gue buat buru-buru. Tanpa disuruh pun gue juga pengen cepet wisuda, tapi kan ga segampang itu juga!" Alis Nadia menukik marah.

Aku membuka botol minumnya dan menyerahkan pada Nadia. Dia butuh minum, khawatir keselek gara-gara emosi. Kan nggak lucu kalau ada mahasiswa akhir yang mati keselek mie gara-gara emosi ditanya kapan wisuda.

"Gue sih bodoh amat ya. Tipsnya jangan datang ke acara apa pun itu. Gue bahkan nggak bakal datang besok ke acara reuni SMA. Bisa-bisa gue down lagi," ujar Fira realistis.

"Jujur gue capek kenapa skripsi gue nggak kelar-kelar. Tiap baca skripsi orang tu rasanya segampang itu, tapi kenapa gue nggak bisa, Ya Allah." Aku tidak sengaja menghela napas kasar.

Nadia geleng-geleng. "Gue pengen nikah aja deh."

Fira mengangguk setuju. "Jodoh gue lagi ngapain ya? Kok belum datang sih. Awas aja kalau dia lagi romantisan sama cewek lain."

Mereka berdua kemudian menatapku yang hanya diam. Biasanya aku paling suka jokes pengen buru-buru nikah. Kami tahu itu bukan solusi. Menikah itu bukan untuk melarikan diri, tapi memulai suatu fase baru. Hanya saja itu jokes yang relate untuk bahan bercanda di circle pertemanan.

"Tumben lo nggak nyaut? Ke mana CEO lo yang tampan nan baik hati, husband materials, plus kaya tujuh turunan itu?" Nadia bertanya heran.

"Gue udah mau nikah, tapi bukan sama CEO," jawabku tidak bersemangat.

"Ya nggak papa, bebas ajalah, In. Ini cuma jokes. Lagian kita kan nggak tahu jodoh kita siapa, kerjanya apa, udah mandi apa belum, udah makan apa belum, udah minum apa bel-"

"Stop, Nad. Nggak sekalian udah berak apa belum?" Fira geleng-geleng kepala.

"Nah iya, udah berak apa belum. Apa lagi ya?" Nadia masih tampak berpikir.

"Nad, Fir, gue serius. Gue udah mau nikah," tekanku sekali lagi.

Sebenarnya agak malu mengatakan ini. Teringat ucapanku pada mereka yang mana aku ingin menikah dengan orang yang kucintai dan itupun di umur 27 kalau umur panjang nanti. Takdir malah berkata lain, jodohku datang lebih cepat dari waktunya.

Nadia kali ini keselek. Dia terbatuk-batuk. "Lo yakin, In? Ini serius apa bercanda?"

"Serius. Gue dijodohin."

Akhirnya mengalirlah cerita seluk-beluk mengapa aku dijodohkan dan fakta bahwa aku sudah bertemu Ben, cowok songong yang resenya diluar nalar.

"Omg, Intan! Gue iri banget," ujar Fira yang malah excited dengan ceritaku barusan.

Nadia ikut-ikutan merasa ini adalah cerita romantis. Meski begitu aku bersyukur mereka tidak men-judgeku. Malahan mendukung dan berusaha menyemangati.

Aku merasa haru. Entah mengapa rasanya lega dan sedihku jadi berkurang. Padahal sebelumnya aku sering menangis di kamar dan ingin lari dari kenyataan. Namun, Nadia dan Fira memberiku support. Aku jadi tidak terlalu terbebani.

Hingga beberapa detik kemudian ada notifikasi pesan masuk dari nomor baru.

Malam nanti gue jemput, kerja skripsi bareng gue.

Begitulah isi pesannya. Aku mengintip profilnya, ternyata Ben. Dia memang sempat meminta nomor wa-ku saat di cafe waktu itu.

Aku membalas dengan stiker oke lalu menyimpan kontaknya.

Nadia dan Fira yang juga ikut membaca pesan itu kini senyum-senyum menatapku. "Ciee yang udah punya ayang."

"Iyalah, yang jomlo nggak diajak," sindirku yang berhasil membuat mereka merengut kesal. Haha.

Tbc
Monday, 15/07/2024

SkripshitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang