13. Memilih Pisah

45 3 8
                                    

Mulai hari ini nggak boleh pakai sapaan lo-gue. Itu adalah aturan pertama yang dibuat Ben setelah semalam kami melakukan itu ... mmm ... kiss, hehe.

Aku masih malu! Bahkan Semalaman sulit tidur, sibuk berjingkrak-jingkrak ria. Apakah Ben juga rasa yang sama di kamarnya? Omg!!!!

Sepagi ini aku malu-malu ke dapur. Seperti biasa membuatkan sarapan dan bekal makan siang untuk Ben.

Tak berapa lama dia datang, sudah mandi dan berpakaian, aroma parfumnya menguar bahkan sebelum dia tiba di sini.

Ben mendekat, kukira dia akan memberiku ciuman di kening. Ah ... masih pagi tapi sudah romantis. Kenyataannya, dia malah membaui rambutku yang khusus pagi ini telah tersisir rapi. "Hari ini keramas, Dek. Rambutnya bau asem."

Aku mencibir pelan. "Iya-iya."

"Dospem udah bisa dihubungi? Bisa bimbingan?" Dia sedang sibuk menyiapkan piring dan gelas di meja makan kecil kami.

Aku menggeleng. "Lagi di luar kota. Mungkin besok baru bisa, itupun kalau ada waktu."

Aku ragu-ragu ingin mengatakan sesuatu. Ben sepertinya menangkap keganjilan itu.

"Ngomong aja."

"Itu ... lo, eh maksudnya Kak Ben nggak suka sama Bu Mala itu kan, Kak?"

Dia tertawa. Betul-betul tertawa. "Ya nggaklah."

"Tapi kan dia cantik." Aku kesal.

"Kamu lebih cantik."

Wah ... si kanebo kering ini pintar bermain kata juga ya.

Aku benar-benar mencoba bersikap netral meski dalam hati sudah gasrak-gusruk rasa ingin melompat-lompat.

***
Seminggu ini aku menikmati peran sebagai istri dalam rumah tangga yang sederhana. Keluarga Ben dan keluargaku tak banyak mencampuri kehidupan kami. Aku jadi bebas dan merasa pernikahan ternyata tidak semembosankan itu.

Kata-kata Mamah kembali berputar. Selama ini, setidaknya dalam kurun waktu terakhir, masalah yang kukeluhkan hanya tentang skripsi. Sementara pernikahanku berjalan lancar tanpa ada kendala. Harusnya itu yang kusyukuri.

Suatu sore, saat sedang asyik tertawa menonton reels video lucu, notifikasi grup angkatan menyita perhatianku.

Di situ ada foto Lili dan Dani yang rupanya pamer memakai samir bertuliskan nama dan dan ada juga foto dengan samir terbaik se-fakultas.

OMG! 

Aku iri. Tak lama grup dipenuhi ucapan selamat. Aku cukup mereact love, bentuk apresiasi. Aku bangga pada mereka, meski ... tentu saja ada rasa iri.

Kurasa penelitian Dani tidak sebagus itu, tapi dari cerita Nadia, katanya dosen penguji begitu memuji penampilannya di ruang ujian.

Ya ampun, aku sangat iri.

Aku juga ingin. Apalah daya, skripsiku macet meski aku sudah berusaha menekan gas kuat-kuat. Di kelas kami bahkan sudah banyak yang semhas (ujian seminar hasil). 

Lalu aku ... kapan?

Mendadak aku kehilangan motivasi. Aku kecewa pada diri sendiri. Kenapa aku tidak seberuntung mereka? Apakah penelitianku terlalu jelek sampai dosen pembimbing ogah-ogahan? Atau aku terlampau bodoh dengan topik yang kuambil sehingga skripsiku tidak ada kemajuan?

Apa pun itu, aku sudah tidak bisa mengembalikan mood baikku.

Mungkin jika aku telah wisuda, pasti aku sudah sibuk bekerja, memakai high heels dan sibuk menebar pengetahuan.

SkripshitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang