7. Pindah Rumah

39 3 2
                                    

Hari Minggu ini aku berencana menyelesaikan revisian. Masih ada tiga hal yang harus diperbaiki dan ditambah. Sudah kubilang aku dibantai di ruang sidang dan mendapat banyak revisian. Meski sempat berleha-leha dan menunda, kini aku sadar bahwa aku harus menuntaskannya.

Sayangnya hari ini kami pindahan dan Ben baru mengatakannya tadi pagi. Si kanebo kering itu benar-benar mengacaukan rencana besarku!

"Lagian kenapa harus pindah sih, Kak? Di rumah ini kan cuma kita sama mami papi.  Gue betah aja kok," kesalku setelah kami sarapan dan kembali ke kamar.

"Gue pegel tidur di bawah tau. Kalau pindah kan kita bisa punya kamar masing-masing."

Aku mencibir. Itu benar juga sih, tapi kenapa harus hari ini? "Dasar jompo."

"Bilang apa tadi?" Ben melirikku.

"Kak Ben terbaik deh." Setelah itu aku bergidik geli. Amit-amit!

Kami pun segera berberes. Mami dan Papi ikut mengantar meski sebelumnya sempat menolak kepindahan kami. Ben begitu keras kepala ingin pindah. Kami menempati rumah lama keluarga mereka sebelum pindah ke rumah baru yang sekarang.

"Kalian yakin pengen hidup sendiri?" tanya Papi.

"Kasian Intan, dia bakal capek ngurus rumah sendirian. Kalau di rumah kan ada Mbak Titi yang bantu-bantu beres rumah. Kalaupun kalian mau nyewa art, lebih baik uangnya itu ditabung," timpal Mami.

"Rumah itu nggak besar amat, Mi. Kita berdua bisa bagi tugas, iya kan, In?" Ben meminta persetujuanku.

"Kok manggilnya gitu sih? Istrinya dipanggil 'dek' biar lebih mesra dan hubungan kalian makin dekat," tegur Papi. Mami mengangguk setuju.

Wajah Ben tampak keberatan, tapi memilih diam saja. Sialnya aku hanya bisa tertawa dalam hati melihat wajah tertekannya itu.

"Iya, Pi."

"Mulai sekarang harus gitu. Jangan ada lagi manggil nama." Mami menambahkan. Ben hanya mengangguk pasrah.

Selanjutnya Mami dan Papi memberikan wejangan hidup berumah tangga pada kami berdua di sepanjang perjalanan. Dapat kulihat bahwa Ben ini tipe yang patuh pada orang tua.

Tanpa sadar aku menatapnya lama. Kok bisa ya aku akhirnya menikah dengan orang asing ini? Orang yang rambutnya cepak dan hidungnya menjulang tinggi, tapi tatapan matanya setajam silet. Lalu aku membayangkan apakah hidupku ke depannya akan aman bersama orang ini?

"Jangan natap gue kayak gitu," bisik Ben pada tiba-tiba.

Aku langsung mengambil alih kesadaranku. Balik berbisik padanya, "Ciee ... salting ya?"

"Nggak, lo natap kayak hantu di film. Gue merinding." Setelah mengatakan itu dia membuang muka ke arah jendela.

Senyumku langsung pudar. Oke, sabar Intan. Orang ini memang tidak ada manis-manisnya.

~~
Tak lama setelah sampai, aku cukup senang mendapati rumah yang akan kami tempati itu tidak sekotor yang kubayangkan. Ternyata memang masih sering dibersihkan setiap minggu.

Mami dan Papi yang sore nanti harus ke kondangan tak bisa berlama-lama di rumah ini. Begitu mereka pergi, aku dan Ben segera berbagi kamar. Dia di kamar pertama dekat ruang tamu sedang kamarku dekat dapur. Rumah ini hanya punya dua kamar, tapi ruangannya cukup besar. Ada ruang tamu, ruang tengah, dan dapurnya yang juga lumayan. Ada space kecil di belakang rumah yang bisa dijadikan taman. Rumah yang minimalis.

Aku suka ini. rumahnya nyaman dan lingkungannya tenang. Ben kemudian mengejekku yang sok-sokan tidak mau pindah, tapi kini malah selonjoran asyik di ruang tengah menonton TV. Aku hanya cengengesan sebelum fokus menonton sinetron.

***
Malamnya Ben memasak untuk kami berdua dan masakannya enak. Andai saja aku sudah bekerja, kupastikan itu akan jadi alasan agar Ben saja yang memasak, aku tinggal makan saja.

"Heh mikirin apa lo. Senyum-senyum kayak kunti," kata Ben. Aku memutar bola mata. "Bisa nggak sih nggak bawa-bawa kunti? Nggak liat ini udah jam berapa?"

"Ya emang beneran lo mirip kunti. Coba ngaca."

"Mana ada kunti pake jilbab! Gue nggak mau ngobrol lagi sama lo, Kak!"

Dia malah tertawa mengejek. Dasar manusia jompo!

Selepas mencuci piring, aku bergabung dengan Ben di depan TV. Aku jadi kecanduan  menonton beberapa sinetron. Meski sudah di episode puluhan, aku masih dapat mengikuti jalan ceritanya. Seperti saat ini, momen si pemeran utama ternyata anak orang kaya akan terbongkar.

"Dek, buatin gue kopi cepetan." Tiba-tiba saja Ben menyuruhku. Dak dek dak dek, sepertinya lidahnya keseleo.

"Bentar dulu, pas ikla-"

Shapii COD, Shapii COD
Bayar langsung di tempat.

"Nah itu udah iklan." Ben tersenyum lebar padaku yang tiba-tiba shock. Kenapa harus iklan sih! Itu si pemeran utama udah mau buka hasil tes DNA. Astaga!

Dengan kesal aku segera ke dapur dan buru-buru membuatkan Ben segelas kopi. Aku tidak berminat minum sebab tidak ingin begadang malam ini. Takut ada kunti.

Setelah itu kami pun menonton lagi. Aku hampir saja ingin menonjok TV saat sinetronnya malah bersambung dan kebenaran tentang anak kandung itu belum terungkap. Tes DNA tadi belum juga dibuka karena si pemeran jahat pura-pura pingsan dan mengambil alih atensi semua orang. Sialan!

Ben terbangun akibat umpatanku itu. Dia memang sudah mengantuk sejak tadi. Kopinya hanya diminum sedikit. 

"Nggak baik ngomong kotor gitu. Lo tu cewek, Dek."

"Ya kalau gue cowok emang boleh?"

"Nggak usah berdebat. Udah malam. Ayo tidur." Tiba-tiba saja dia bangkit dan menarik tanganku. Lah, dia lupa kalau kami beda kamar?

Aku pun mengikut saja setelah mematikan televisi. Namun, alarm bahayaku berbunyi saat dia menarikku masuk ke dalam kamarnya. No way!!!

"Kak Ben apaan sih, kita beda kamar. Ngapain ngajak gue ke sini!" Aku bersikeras tidak mau masuk.

Dia berdecak, matanya yang meski sudah mengantuk itu masih berusaha mengancamku. Dia melepaskan peganganku pada pinggiran pintu lantas mengajakku masuk dan menutup pintu. Setelahnya dia berbaring tengkurap di kasur lantas menepuk-nepuk belakangnya. "Injakin belakang gue, pegel-pegel seharian ngangkat ini itu."

Hah?

Aku cengo untuk sementara. Kukira dia mau aneh-aneh. Dengan sedikit perasaan tidak nyaman aku akhirnya naik di belakangnya. Ini seperti menginjak badan Papah pas masih kecil. Tidak kusangka adegan begini masih akan ada setelah menikah.

"Sampe gue tidur ya, Dek."

Menyebalkan. Jadi aku diminta menunggunya sampai sudah di alam mimpi dan aku sendirian gitu? 

Sabar, Intan, sabar. Orang sabar skripsinya lancar.

Sedetik kemudian aku baru ingat, hari ini aku belum menyentuh skripsiku! GAWAT!

Tbc
Friday, 01/11/2024

SkripshitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang