3. Si Kanebo Kering

77 5 3
                                        

Sore ini aku sebagai tante yang baik mengajak Joya keliling kompleks rumah. Gadis manis berusia tiga tahun ini begitu pintar. Sudah bisa bernyanyi, suka diajak mengobrol, dan bahkan tidak takut pada orang baru. Dia bahkan kadang menyapa tetangga-tetangga dengan kosa katanya yang masih belum fasih.

Aku sangat senang. Selalu mencium pipinya dan tertawa dengan tingkah lucu Joya.

"Udah cocok jadi ibu kamu, In.", Seorang tetangga menyeletuk. Aku tersenyum ramah meski dalam hati rasanya lain. Sebelum dijodohkan, kalimat seperti itu terdengar seperti pujian, tapi berbeda dengan kondisi sekarang.

Aku yakin berita bahwa aku akan menikah sudah tersebar di kompleks ini. Apalagi ada satu-dua tetangga yang tidak ragu menanyakan itu. Bahkan terang-terangan menggoda. Jujur aku kurang nyaman.

Ini sama parahnya diajak bercanda tentang aku yang tidak kunjung wisuda. Dalam hati aku berusaha menepis pemikiran aneh ini. Aku harusnya menikmati waktuku bersama Joya. Kembali kuciumi pipinya setelah dia mencoba menceritakan sesuatu setelah melihat mobil mainan anak-anak tetangga yang lagi ngumpul.

Aku kembali tertawa, Joya begitu menggemaskan. Begitu antusias bercerita seolah-olah bahasa balita-nya itu dapat kumengerti semuanya.

"Eh ada Joya," sapa tetangga yang lewat. Aku tersenyum dan Joya melambaikan tangan.

Tetangga itu belum juga pergi. "Kamu udah mau nikah ya, In? Kamu udah wisuda? Kalau si Hulya harus wisuda dulu baru nikah. Satu-persatu." 

Aku hanya tersenyum kikuk meski dalam hati geram. Ya peduli amat dengan orang lain. Kalau gue udah mau nikah ya kenapa!

Untung saja ada Deo, adikku yang baru saja datang berkata bahwa aku dan Joya dipanggil Mamah. Aku pun segera pergi. 

Di rumah, Joya diambil alih oleh Mamah yang memberinya susu. Aku dengan alasan ingin mandi segera masuk ke kamar. Padahal aku hanya butuh waktu menyendiri. Aku menangis lagi. Kenapa sih selalu dibanding-bandingkan! 

***
Tok tok ....

"Kakak, ayo keluar, sana dipanggil Mamah." Itu suara Deo.

Aku merenggangkan badan. Tidurku terusik. Deo mengetuk lagi, berisik sekali!

"Kakak, buruan keluar. Kakak tidur, ya? Bangun, masa cewek ga ada anggun-angunnya sih. Udah jam berapa ini."

Itu juga masih suara Deo. Dia itu cerewet dan suka ngomel padaku. Menyebalkan!

"Kakak, bangun ada Bang Ben di depan!"

Wait ... what!!!

Ben? Di rumahku? Ngapain!

Aku mengintip dari jendela kamar dan benar saja di depan ada sepatu yang sama seperti dipakai Ben di cafe waktu itu. Astaga, ngapain dia ke rumahku jam segini!

Begitu menyalakan ponsel aku kaget dengan beberapa misscall dari Ben. Aku baru ingat malam ini dia mengajakku kerja skripsi bareng. Astaga!

Sejenak aku mendengar obrolan dari ruang tamu. Itu suara Mamah dan Ben. Gawat! Aku buru-buru mandi.

***
Ben sedaritadi menatapku tajam. Kami sudah di cafe yang mana tempat pertama kali kami bertemu. 

"Gue minta maaf udah bikin lo nunggu, Kak. Gue ketiduran." Aku mengaku salah.

"Bukan itu, kaki lo dari tadi nginjak kaki gue btw."

Aku melirik ke bawah, kaget mendapati kakiku bertengger manis menginjak kakinya. Buru-buru menariknya kembali. "Hehe, maaf, Kak. Sakit ya?"

Dia tidak menjawab.

"Btw lo yakin mau bantu ngerjain skripsi gue, Kak?"

Ben mengangguk, dia tampak fokus pada hapenya.

"Emang lo ngerti topik skripsi gue? Kita kan beda jurusan?" Jujur aku jadi curiga. Apa Ben ini pintarnya di atas rata-rata sampai mengerti pelajaran di jurusan lain?

"Ya nggaklah."

"Lah terus?"

"Gue bantu semangatin aja. Sisanya kerjain sendiri."

"Tahu gitu mending gue kerjanya di rumah aja!" cibirku.

"Mami pengen gue nemenin lo kerja skripsi, ya udah, daripada gue kena marah. Lagian lo kira gue ga tahu kalau di rumah lo kerjaannya buka laptop, tapi malah scroll Tiktok di hape? Udah sana fokus sama skripsinya," kata Ben mengomel.

Aku hanya bisa mendumel dalam hati. "Iya-iya ini lagi dikerjain."

Ternyata Ben sudah fokus bermain game. Baiklah, aku pun mulai mencari jurnal terkait feminisme. Selain itu juga mulai fokus pada revisianku yang minggu kemarin diminta mencari penelitian sebelumnya yang lebih relevan.

Aku mulai asyik hingga akhirnya revisianku kelar. Ini bagus, aku pun merenggangkan badan. Sedikit menoleh pada jam di ponsel, aku baru sadar sudah satu jam lebih berkutat di depan laptop.

"Udah kelar?" tanya Ben. Hapenya sudah tidak vertikal. Sepertinya dia sudah berhenti main game.

"Iya, Kak. Makasih ya."

"Btw mata lo bengkak, lo nangis?"

"Eh? Nggak!" Aku mencoba menatap ke arah lain. Sepertinya sembabnya belum hilang, padahal tidak begitu kentara.

"Gue udah liat mata lo dari tadi. Dari rumah lo. Kenapa? Cerita sama gue."

Aku menghela napas. Tidak ada gunanya menghindar. Aku pun menceritakan kejadian tadi sore.

"Udah nggak usah dengerin orang. Buang-buang air mata aja lo. Sana fokus skripsian. Dengerin tu kata gue."

"Kenapa juga gue harus dengerin lo." Aku mendumel yang rupanya didengarnya. Dia tampak kesal.

"Pokoknya dua minggu ke depan lo harus bisa ngejar sempro. Ngomong ke gue kalau ada kendala. Sebelum nikah pokoknya lo harus sempro."

"Iya-iya."

Aku tidak yakin bisa sempro secepat itu. Dalam hati aku mendumel. Bilang saja kalau malu punya calon istri belum lulus. Tapi mending dia ga usah bilang sih, aku sudah cukup malu sendiri.

"Ayo pulang. Awas aja lo nangis lagi gara-gara omongan orang. Lapor ke gue kalau ada yang nyenggol lo, ntar gue senggol balik."

"Senggol-senggolan dong?" Aku menahan tawa.

"Gue serius, Intan."

Aku berdecak. "Iya-iya."

Dasar kanebo kering!


Tbc
Tuesday, 16/07/2024

SkripshitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang