12. First Kiss

54 3 5
                                    

"Ada masalah apa, Dek?" Bang Arfan kali ini membujukku bicara setelah Mamah dan Kak Salsa menyerah oleh kebisuanku dan memilih menunggu di luar kamar.

Tadi pukul 7 malam aku baru sampai di rumah dengan koper berisi pakaian. Seketika orang rumah heboh apalagi saat tahu aku menaiki ojek online.

M

ereka pasti berusaha menghubungi Ben yang tentunya tidak akan diangkat. Dia sedang tertidur di ruang tengah dan bahkan tidak terbangun meski aku berjalan dengan langkah kaki yang sengaja dientak-entakkan. Dasar tidak peka. Jangan-jangan dia pura-pura tidur dan sengaja mengabaikanku?

Aku sudah tidak menangis meski wajah ini masih terasa membengkak. Begitu tiba tadi aku langsung makan sambil menangis. Jelaslah orang rumah makin panik.

Kini aku menggigit bibir. Haruskah kukatakan yang sejujurnya?

"Aku minta pisah sama Kak Ben, Bang."

"Astaga!" Itu seruan dari luar. Suara Mamah yang kaget. Bang Arfan tak kalah kagetnya. Wajahnya makin mengerut bingung.

"Coba cerita ada masalah apa."

Aku masih cemberut. "Aku ... aku nggak bisa ngejar wisuda semester ini, Bang. Aku udah berusaha, tapi waktunya mepet dan dospemku juga sibuk banget. Aku malu. Padahal udah diminta buat segera wisuda, tapi aku telat lagi."

Suaraku mulai bergetar dan beberapa butir air mata terasa di pipi. Aku segera menghapusnya. Sibuk menunduk, tak kuasa menatap wajah abangku.

"Ben marah-marahin kamu karena itu?"

Aku menggeleng. Boro-boro! Dia saja sibuk  dan aku baru bilang padanya tadi saat marah-marah. Itupun aku tidak tahu apakah dia menganggapku serius atau cuma main-main.

"Terus?"

"Dia pasti kecewa sama aku. Manalagi di sekolah ada temen gurunya yang cantik. Kenapa dia nggak nikah aja sama guru itu coba?"

Bang Arfan tampak mengusap wajahnya. "Terus?"

"Ya itu aja. Aku marah-marah dan Kak Ben malah nyalain TV. Dia cuma tidur pas aku mau ke sini. Aku nggak mau balik ke sana soalnya  udah minta pisah. Kita berdua udah sepakat mau pisah. Maafin aku, Bang. Tapi ini memang nggak bisa dipaksa lagi. Aku tahu aku ini bentuk kegagalan yang nggak disukai siapapun."

Abangku ini memijit keningnya. Setelah menepuk-nepuk bahuku, dia segera keluar kamar. Terdengar obrolan di luar dan Kak Salsa serta Mamah kini duduk di sampingku.

"Dengerin ini, Intan, perempuan itu sensitif banget kalau lagi lapar, lagi menstruasi, dan lagi banyak pikiran. Nah sekarang, kamu yang mana?" tanya Kak Salsa.

Aku seketika sadar bahwa ketiga-ketiganya sedang kualami. Aku lupa makan saking overthinking, bahkan sulit tidur akhir-akhir ini dan aku juga sedang menstruasi.

Kak Salsa tersenyum setelah aku malu-malu mengaku. Sekarang aku jadi tahu mengapa aku jadi sensitif sekali.

Kini Mamah memintaku mendengar nasihatnya. "Intan, dengar. Pernikahan kamu itu masih beberapa bulan. Mama yakin kamu sama Ben pasti udah bisa beradaptasi satu sama lain. Tapi, kalian akan terus belajar beradaptasi, menerima ketidaksempurnaan satu sama lain. Selama ini Ben berusaha jadi kepala rumah tangga yang baik. Mamah tahu itu karena tiap kamu ke sini, keluhannya cuma skripsi, nggak ada keluhan tentang kondisi rumah kalian dan Ben. Coba diingat-ingat lagi, mungkin tadi Ben lagi capek dari kerjaan makanya nyuekin kamu, tapi kamu terlalu sensitif sampe marah-marah mau pisah."

Aduh ... yang Mamah katakan barusan juga benar semua. Kini aku jadi malu. Aku butuh waktu sendiri. Mamah dan Kak Salsa segera keluar kamar. Kini aku menyesal, bagaimana cara memperbaiki semua ini? Aku ketakutan, tak lama kantuk mengambil alih rasa panik ini. Aku memutuskan untuk tidur.

SkripshitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang