Ben sedang asyik duduk di ruang tengah menonton TV sambil selonjoran. Sesekali dia tertawa dan itu terdengar sampai di telingaku yang sedang duduk di ruang tamu dengan laptop yang setia menonton wajah kusutku.
Aku sudah bergelut dengan skripsi berjam-jam dan revisianku bahkan belum juga kelar. Namun, lihatlah, si kanebo kering itu sedang menikmati indahnya nonton TV plus rebahan.
"Ckk, nonton kartun Upin Ipin aja sok asyik ketawanya," sindirku.
Aku sangat tahu bahwa dia sengaja tertawa keras hanya agar membuatku iri dan makin tersiksa dengan skripsi ini.
"Oh jadi ini kartun Upin Ipin?" balas Ben yang kemudian membesarkan volume TV.
"Kenapa dulu aku dibuang padahal aku ini anak kalian! Kalian tega!"
Wait!! Oh tidak! Itu suara artis cantik si pemeran tokoh baik di sinetron 'Yang Terbuang'. Jadi dia sudah melihat tes DNA? Gimana ceritanya dan gimana reaksi si tokoh antagonis? Oh astaga, ini harus kutonton!
"Eh ... mo ke mana?" Ben menginterupsi langkahku yang ingin ikut menonton.
"Sana kerjain skripsi." Dia memerintah lagi.
Sejak tadi dia memang menyebalkan! Aku bahkan dilarang kerja skripsi di kamar karena katanya hanya akan rebahan. Kemarin selepas dari perpustakaan aku tertidur dan tidak melanjutkan revisian. Sementara pagi sampai tadi sore aku ke rumah Mamah untuk membantu menjaga Joya, ponakanku tercinta. Makanya malam ini Ben sangat ketat mengawasiku.
Aku berdecak kesal, lalu tiba-tiba aku punya ide!
"Kak Ben mau dibuatin kopi, nggak?" Aku merayunya. Lihat saja, kepalanya itu langsung melirikku meski sekilas. Dia tampak tertarik, tapi masih butuh dipaksa, baiklah.
"Aku buatin deh." Dengan segera aku meluncur ke dapur lalu setelah itu membawa kopi padanya. Tanpa menolak dia langsung meminumnya. Mudah sekali menggoyahkan pendiriannya.
"Eh ngapain lo duduk sini? Sana balik ke laptop." Dia mengusirku, tapi aku punya hak untuk duduk di sini.
"Bentar dulu ih, gue mau lanjut nonton. Kemarin malam gue absen tau!"
Ben pun akhirnya mengalah. Kami berdua larut dalam tayangan sinetron itu.
"Kalau gue jadi dia, udah gue tabrak pake trek si cewek iblis ini. Udah jahat, nggak ngotak lagi! Masa orang baru ketemu orang tua kandung udah mau dipisahan aja!" geramku. Sinetron ini berhasil mengaduk emosiku sampai ke ubun-ubun.
"Kalau gue jadi dia, mending gue ngerjain skripsi." sindir Ben.
Skripsi lagi ... skripsi lagi ....
"Kak, sekali lagi lo nyebut skripsi, gue bakal gantung diri di pohon tomat belakang rumah!" ancamku.
"Loh, jangan dong, Dek. Kasian pohon tomatnya. Nanti kalau dia ngambek nggak mau jadi pohon tomat lagi gimana?"
Alah, jokes bapack-bapack! Sedikit lucu, tapi aku tidak mau tertawa! Lagian ngapain dia kasihan sama pohon tomat, aku ini istrimu loh kanjeng mas.
Setelah sinetron 'Yang Terbuang' bersambung, aku segera minggat ke ruang tamu tanpa disuruh. Aku harus mengerjakan skripsi. Namun, aku heran saat Ben malah mengikutiku dan kini menatap dengan senyum mencurigakan. Aku memicingkan mata.
"Gue nggak mau disuruh injak belakang lagi ya," tegasku.
"Ya udah gue tinggal telepon mamah, mau laporin orang yang nggak mau mijitin." Ben dengan santai melenggang ke kamarnya.
Astaga, si kanebo kering itu benar-benar ya! Bisa-bisa aku diceramahi tujuh hari tujuh malam jika Ben benar-benar melapor. Sepertinya Deo, adikku, telah membocorkan padanya bahwa tadi aku diceramahi panjang lebar oleh Mamah agar jadi istri yang baik.
"Ya udah buruan. Lagian lo tu kenapa pulangnya selalu pegel sih, Kak?Lo kan guru, jangan bilang lo ngerangkap jadi kuli?" heranku, mengekor masuk ke kamarnya.
"Di sekolah lagi ada event. Terus bantu dekor deh," katanya lalu mengaduh kesakitan, "Bentar, yang di situ injaknya pake tumit, Dek, biar kerasa."
Aku melengos. Dek lagi dek lagi. Alasannya adalah dia anak yang baik makanya ingin menuruti nasihat orang tua. Aku jadi sangsi apakah aku ini anak yang buruk sebab aku seperti tidak sepatuh itu pada orang tua dibanding dirinya.
"Lo kan guru sejarah, Kak, ngapain ngurus dekor sih. Kan ada anak Osis."
"Gue guru pembina Osis, ya kali nggak bantuin. Lagian bukan berarti turun langsung ngedekor, bantu beberapa bagian aja."
"Gitu aja udah pegel, dasar jompo!" desisku.
"Gue masih bisa dengar."
Aku mencibir, baguslah kalau dia mendengarnya.
Ngomong-ngomong ada saatnya Ben enak diajak ngobrol dan ternyata dia tidak semenyebalkan saat pertama kali bertemu. Meski tetap ada bagian menyebalkan, tetap saja Ben tahu menempatkan diri. Sepertinya itu juga faktor umur. Dia kan sudah jompo.
"Kak, gue takut kalau nggak bisa ngejar ujian bulan ini," keluhku. Menanti reaksinya dengan takut.
"Lo pasti bisa, Dek. Kemarin aja bisa."
Ada hening yang lama.
"Kalau gue nggak berhasil gimana dong, Kak?"
"Kak?"
"Ya elah udah tidur. Dasar jompo!"
Tbc
Monday, 04/11/2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Skripshit
ChickLitDemi apa pun Intan membenci skripsi. Gara-gara itu dia stress, kena mental dengan teman-temannya yang sudah lulus. Belum lagi pertanyaan tetangga dan keluarga yang tiada habisnya. Paling parahnya adalah dia juga akan dijodohkan gara-gara skripsi yan...