6. Teringat Revisian

43 3 1
                                    

Pagi setelah kejadian hantu Ben itu kami berdua dinasihati orang tua dan kakak-kakak Ben. Kami diminta untuk beradaptasi bahwa kami sudah menikah. Jangan sampai ada kesalahpahaman lagi. 

Ben tampak meringis ketika kami sudah masuk di kamar. Jidatnya memerah bekas lemparanku tadi. Aku menahan tawa. Dia melirikku tajam.

"Mana ada hantu yang niat sholat subuh," kesalnya.

"Makanya jangan ngagetin. Dibangunin malah tidur. Eh tiba-tiba aja nongol di depan kamar mandi. Gimana orang nggak kaget," jelasku.

Ben sudah menjelaskan tadi bahwa dia baru saja akan mengetuk pintu kamar mandi, tapi kalah cepat denganku yang telanjur membuka pintu hingga kaget dan reflek melemparinya.

"Sakit tau."

"Maaf, Kak. Sana kompres biar cepat reda."

"Awas aja kalau gue diketawain pas ngajar. Mati lo!" ancam Ben dan aku tidak peduli.

Kalaupun dia ditertawakan oleh murid-muridnya, ya itu urusannya. Aku mah di kamar aja sambil rebahan.

"Hari ini kerjain revisian. Gue pulang nanti harus udah selesai," katanya mengancam.

Ben memang selalu tahu cara merusak hariku.

***
Ternyata oh ternyata hari ini libur nasional dan Ben baru tahu itu saat sudah rapi dengan seragam khaki-nya, seragam dinas guru. Aku tertawa ngakak dalam kamar dan dia dengan muka kesal hampir menjitak kepalaku. Untung saja aku buru-buru keluar kamar.

Jujur saja aku bersyukur dia tidak jadi masuk kerja sebab aku takut sendirian di rumah yang ramai ini. Begitu bergabung di meja makan, sudah ada Mami, Papi, kakak pertama dan kedua, kakak-kakak ipar, serta tiga ponakan Ben yang syukurlah tidak rewel.

Aku cukup gugup dan sepertinya Ben tahu itu.

"Udah rileks aja. Lo kayak di rumah hantu aja. Keluarga gue nggak pemakan daging manusia kalau lo belum tahu," bisik Ben.

Aku mendelik kesal. Memangnya siapa yang berpikir keluarga ini kanibal? Heran!

"Jangan digangguin istrinya, Ben. Baru aja nikah udah iseng," tegur Papi.

Dalam hati aku tertawa ngakak. Rasain lo, kena marah orang tua kan! Ben melirikku tajam, biarin.

Berkat interaksi aneh itu aku jadi merasa rileks. Obrolan di meja makan ini berjalan lancar. Aku sekalian berkenalan dengan kakak-kakaknya. Keluarga Ben ternyata asyik. Tidak ada aura negatif di sini. Tidak seperti pemikiranku yang sebelumnya parno, takut dijudesin kakak-kakak ipar atau dicuekin kakak-kakaknya. Semuanya berusaha mengakrabkan diri denganku, termasuk Mami Papi yang terkesan santai dan penyayang.

Setelah itu ternyata sore ini kami akan mengantar kakak pertama Ben yaitu Bang Bani ke bandara. Bang Bani, Kak Sabrina, serta dua anak mereka akan segera bertolak ke Maluku Utara. Mereka memang sudah lama menetap dan bahkan punya dua cabang rumah makan di sana.

Lalu kakak keduanya, Bang Bian beserta istrinya, Kak Nila, dan anak mereka segera pulang ke rumah mereka di kabupaten. Mereka berdua bekerja sebagai tenaga medis di rumah sakit setempat.

Hanya tersisa kami berempat yang sebelum pulang sempat singgah makan malam di luar. Begitu sampai di rumah, Papi dan Mami langsung tidur. Aku baru tahu bahwa Mami ini kepala sekolah di Sd depan kompleks dan Papi seorang dosen di salah satu universitas favorit di kota ini. Latar belakang keluarganya lumayan bagus, aku jadi minder sendiri.

"Mau nonton nggak?" Ben menoleh dari luar pintu kamar. Aku yang sedang asyik di ponsel kini menatapnya. Ini masih jam sembilan, aku belum ngantuk. Segera saja aku bergabung dengannya.

"Ambilin minum dong."

Aku bahkan belum sempat duduk, tapi si kanebo kering ini sudah menyuruh saja. 

Setelah itu kami fokus menonton. Aku tertawa ketika ada adegan lucu.

"Ketawa aja lo, revisian nggak dikerjain," sindir Ben.

"Siapa suruh ngajakin nonton."

"Besok kerjain revisian."

"Iya-iya, gue ke kampus biar fokus."

"Sama siapa?"

"Sendirilah. Emang ada gitu yang mau nganterin?"

"Jam berapa perginya?"

Oh wait, apakah dia berniat mengantarku? Aku memicing curiga.

"Apa sih, cuma nanya doang. Nggak usah sok imut," sindirnya.

Ya elah, siapa yang sok imut di depan lo, Kak! Lama-lama gue gampar juga ya mulut judes lo.

"Gue bisa pergi sendiri, Kak. Mending lo kerja aja terus hasilin duit buat gue, oke?" Aku tertawa jahat.

Ben geleng-geleng kepala. "Lo ini spesies apa sih? Matre bener."

Aku tertawa. Maksudnya gue sejenis orang gila dari planet lain gitu? Kocak.

Kami pun kembali fokus menonton. Hanya suara TV yang meramaikan ruang ini. Aku lalu teringat chat di grup saat Nadia bilang pendaftaran wisuda akan segera ditutup, kuota tinggal sedikit.

"Kira-kira bulan ini gue bisa nggak ya ngejar ujian hasil sama ujian kompre?" Aku bergumam sendiri. Aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk bisa wisuda semester ini.

Aku jadi kepikiran untuk segera mengerjakan revisian. Sontak saja aku berdiri dan masuk ke kamar. Ben terlihat ingin bertanya, tapi malah dia urungkan. Aku tidak peduli, harusnya aku tidak bersantai seperti ini.

Ayo semangat revisian!

Tbc
Friday, 01/11/2024

SkripshitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang