"Saya terima nikah dan kawinnya Intan Nur Djafar binti Aiman Djafar dengan mas kawinnya yang tersebut dibayar tunai.”
Suara lantang dari Ben terdengar dan di dalam kamar ini jantungku makin berdegup kencang. Aku gugup bukan main. Apakah aku sudah berstatus istri sekarang? Omg, aku merasa tidak siap. Tolongggg~
Tak lama pintu kamarku dibuka, masuklah Ben beserta penghulu dan para tokoh adat.
Ben diminta menyentuh bagian depan kepalaku sembari membaca doa dan aku disuruh mencium tangannya setelah itu. Kami berdua pun diajak keluar bersama dan menandatangi buku nikah.
Aku begitu gugup, ada banyak orang dan kamera ponsel di mana-mana. Kulihat mata Bang Arfan memerah. Sepertinya dia menangis saat menjadi wali nikahku. Mamah juga bahkan masih terlihat mengusap air mata. Aku jadi ikut sedih. Aku teringat Papah.
Kak Salsa memberiku tisu dan bahkan mengusap hati-hati air mataku agar tidak merusak make up. Aku sangat terharu. Tidak menyangka di usia ini aku akhirnya menikah. Apakah ini keputusan yang benar? Entahlah. Rasanya seperti baru kemarin sempro, eh hari ini sudah jadi istri orang.
***
Selepas ijab kabul, malamnya ada pesta resepsi di rumahku. Untung halaman rumah kami cukup luas. Jujur saja aku ingin pernikahan yang simpel, tapi keluargaku punya prespektif berbeda. Katanya aku hanya satu-satunya perempuan makanya harus dirayakan.Aku mengikut saja dengan para orang tua. Selama ini mereka mengurus semuanya dengan baik dan tentu juga untuk kebaikanku.
"Kak Ben nggak mau mandi?" tanyaku pada Ben yang masih asyik main game di atas kasurku. Agak canggung berdua dengannya di kamar ini dan kurasa dia juga rasa yang sama, makanya dia pura-pura fokus pada ponselnya itu. Dia tidak berani menatapku sejak tadi, aku jadi ingin ngakak. Sebegitu gugupnya dia.
"Bentar lagi, ambilin minum dulu."
Astaga! Bukannya mandi, eh malah menyuruh. Dasar menyebalkan!
Tak lama dia pun segera masuk kamar mandi. Lalu MUA yang bertugas merias kami untuk resepsi malam ini tiba bertepatan dengan Ben yang baru saja selesai mandi.
Selanjutnya Ben pergi keluar kamar. Berjam-jam aku didandani oleh MUA. Aku harap hari ini akan segera berakhir, aku terlalu lelah.
Pukul 19.30 resepsi pernikahan kami dimulai. Aku dengan kikuk menggandeng tangan Ben melewati para tamu undangan.
Rasanya malu, tapi aku dipaksa percaya diri dan tersenyum. Aku sedikit melirik Ben dan kulihat wajahnya tampak gugup. Sontak aku sedikit menunduk menahan tawa. Kenapa ekspresinya itu malah terasa lucu disaat yang tidak tepat! Aku jadi kesulitan menahan tawa.
Well, di resepsi ini banyak temanku, mulai dari teman masa kecil hingga teman kuliah. Aku sudah berencana tidak mengundang teman kuliah, sebab malu karena akan menikah padahal belum lulus. Namun, niat licikku itu digagalkan Deo yang melapor pada Mamah. Alhasil aku dinasihati panjang lebar bahwa tidak baik melupakan teman. Astaga~
Meski begitu teman-teman yang datang terasa men-supportku. Terlebih Nadia dan Fira yang sejak ijab kabul tadi tak henti-hentinya mengarahkan kamera ke arahku. Saking kesalnya aku menyarankan mereka untuk bikin saja vlog. Itu sebenarnya sindiran, tapi mereka malah menganggap itu ide bagus. Dasar gila.
Momen demi momen pun terlewati. Hingga akhirnya di penghujung acara setelah sesi salam-salaman, aku dan Ben berfoto berdua.
"Itu, pengantin cowok, senyumnya jangan kaku, rileks aja," kata si fotografer. "Nah, coba lebih rileks lagi."
"Oke bagus! Untuk posisi selanjutnya, tolong saling hadap-hadapan."
"Agak maju sedikit, yap, udah pas. Pengantin cowok badannya jangan terlalu kaku. Coba bernapas dengan rileks dulu."
Sumpah daritadi aku menahan tawa sebab Ben terus disebut kaku. Dia bahkan sudah tidak mood berfoto. Aku yakin dalam hatinya dia dendam dengan si fotografer.
"Satu, dua, tahan, oke nice! Sekarang gayanya mencium kening istri. Untuk pengantin cewek agak nunduk dikit. Biar posisinya bagus."
Aku tidak suka gaya pose ini. Tidak cocok untuk kami. "Jangan sentuh gue, Kak. Kenain aja di jilbab," ujarku pada Ben.
Dia malah tersenyum miring. Wah sepertinya aku mencium aroma ide licik di sini.
"Jangan macem-macem lho, Kak. Gue tendang baru tahu rasa," ancamku.
Ben malah semakin semangat membuatku kesal dengan ekspresinya itu. Setelah instruksi dari fotografer, dia dengan sangat sengaja menekan kuat ciumannya pada jidatku. Saking lamanya aku sampai harus melepaskan diri darinya. Padahal fotografer sudah selesai memotret, dia masih terus saja menekan kuat. Aku jadi kesal!
Terdengar tawa dari fotografer dan orang-orang yang melihat kami. Tuh kan, ditertawakan begini malah memalukan. Ben malah merasa tidak bersalah. Kini jadi aku yang membenci fotografernya. Huft~
***
Semuanya seperti kedipan mata. Resepsi di rumahku dua hari yang lalu berlalu begitu saja. Tiba-tiba saja aku sudah di rumah Ben untuk acara unduh mantu. Pihak keluarga yang mengantarku tidak terlalu banyak, berbanding terbalik dengan pesta di rumah Ben yang ternyata begitu meriah. Dia anak bungsu, pantaslah mereka begitu antusias.Besok paginya aku terbangun menatap langit kamar yang asing. Ruang kamar yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Selanjutnya aku baru sadar bahwa aku sudah menikah dan ini kamar Ben.
Aku memperbaiki jilbab yang enggan kulepas sejak semalam. Menatap Ben di bawah sana yang tidur beralaskan karpet. Kami sepakat tidak mau tidur di kasur yang sama sejak awal dan dengan senang hati Ben mengalah, tidur di bawah.
"Kak Ben, bangun udah Subuh, sana sholat dulu." Aku mencoba membangunkannya.
Beberapa kali hingga dia tidak mau bangun, hanya bergerak sedikit untuk mencari posisi nyaman. Dasar kebo!
Segera saja aku masuk ke kamar mandi. Begitu selesai beberes, aku keluar dan ... Aaaaa!!!!
Aku kaget melihat ada hantu yang berdiri di depan pintu. Reflek kulempari hantu itu dengan pencuci muka yang masih ada di tanganku.
Sedetik kemudian hantu itu mengaduh kesakitan. Barulah aku sadar bahwa dia bukan hantu, itu Ben! Aku panik terlebih terdengar ketukan orang tua Ben dari luar kamar. Mereka pasti kaget mendengar teriakanku.
Astaga, kamu itu bahkan belum sehari di sini, Intan, ngapain buat masalah!!
Tbc
Monday, 28/10/2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Skripshit
ЧиклитDemi apa pun Intan membenci skripsi. Gara-gara itu dia stress, kena mental dengan teman-temannya yang sudah lulus. Belum lagi pertanyaan tetangga dan keluarga yang tiada habisnya. Paling parahnya adalah dia juga akan dijodohkan gara-gara skripsi yan...