Napas Jeanny masih memburu ketika dia berlari melintasi pelataran gedung ke dalam SWS. Langkah kaki panjang melambat ketika masuk ke bagian depan resepsionis. Flatshoes yang jeanny kenakan beradu dengan lantai marmer dan menarik perhatian seorang pria.
Mike berdiri dari kursi dan langsung menghampirinya.
"Kau bisa berjalan?" Mike langsung membantu Jeanny agar duduk, tapi gadis itu menolak.
"Bagaimana dengan Mommy?" tanyanya tanpa menjawab pertanyaan Mike.
"Margareth sedang ditangani oleh ahlinya. Kau tunggu di sini saja." Mike tak menyerah berusaha mengantarkan Jeanny duduk di sofa. Lagi-lagi gadis itu menepis pegangan tangan Mike.
Namun, Mike bukan pria yang menyerah begitu saja. Dia merangkul bahu Jeanny lembut tanpa paksaan sama sekali, tapi terasa tegas. "Saat ini kau panik. Ke kamar Margareth pun tidak akan membawa pengaruh apa pun. Yang ada para perawat hanya akan terganggu oleh kehadiran kita."
"Tapi, aku putrinya! Aku berhak bertemu dengan Margareth!"
Mike mengangguk sambil terus membimbing Jeanny perlahan ke sofa. "Aku tahu. Namun, aku tadi diberi tahu kalau perawat butuh waktu."
Jeanny mengempaskan diri ke sofa lalu menunduk dalam. Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan yang disanggakan ke lutut. Jeanny merasakan beberapa kali tepukan di bahu sebelum tangan besar dan hangat itu menghilang.
Tidak ada yang bisa Jeanny pikirkan kecuali aneka kemungkinan buruk yang menghajar otaknya sedari tadi. Tiba-tiba aroma manis terhidu indra penciumannya. Jeanny mendongak.
"Teh camomile selalu mampu membuatku merasa lebih baik di saat stres." Mike mengangsurkan secangkir teh yang masih mengepulkan asap panas ke udara yang dingin.
Jeanny sempat terdiam, tapi tangannya yang terasa dingin hingga Jeanny pun menerima pemberian pria itu. "Thanks."
"Don't mention it."
"Aku tak ingin Mom meninggal." Jeanny menyesap tehnya sedikit menyalurkan kehangatan yang sebelumnya tak dapat karena ketegangan. Gadis itu sedikit bergidik karena gigil.
Mike melepas jaket yang dikenakannya lalu dengan lembut menyampirkannya ke bahu Jeanny. "Kau kedinginan. Pakailah. Agar ketika kau bertemu Margareth, wajah manismu tidak lagi pucat seperti itu. Kau bahkan ke sini naik taksi. Padahal, tadi kau bilang kalau Dom akan mengantarmu?" Ada nada dingin di sana.
"Dia ada urusan mendadak. Aku bahkan lupa kalau Dom memberiku supir pribadi. Aku langsung turun dan mencari taksi dan bukan mencari supir itu." Mata Jeanny berkaca-kaca. Pandangannya masih separuh kosong ketika termenung di salah satu kursi berlapis kain motif floral, yang warnanya sudah sedikit pudar. Mike dengan segala kelembutan yang dimiliki, kini duduk di sampingnya.
Mike menggeser posisinya lebih dekat, menyelimuti Jeanny dengan satu lengan. "Margareth adalah pejuang, Jeanny. Sama sepertimu. Dia akan baik-baik saja. Kita harus percaya itu," kata Mike. Ada kepercayaan tinggi dan semangat pada setiap katanya.
Jeanny menatap Mike ragu. Matanya mencari kekuatan dalam ketenangan yang ditawarkan Mike. "Bagaimana jika keadaannya tidak membaik? Aku takut kehilangan Ibu," ucapnya, suaranya hampir tidak terdengar.
"Aku di sini bersamamu. Kita akan melewati ini bersama," Mike berbisik, menenangkan. "Margareth sering mengatakan padaku kalau kau sama sepertinya. Kuat dan tegar. Aku percaya kau bisa menghadapi ini semua.
Di antara kesunyian juga ketegangan yang mendominasi, suara lembut Mike terdengar seperti melodi. Itu mampu membawa Jeanny ke dalam pelukan kehangatan dan kasih sayang. Meskipun ruang tunggu itu sederhana dengan majalah lama tersusun rapi di meja kopi dan beberapa tanaman hias yang menambah sedikit kehidupan, bagi Jeanny, itu menjadi sebuah dunia tempat dia dan Mike bisa menemukan ketenangan di tengah kekacauan.
"Semua ini salahku! Gara-gara aku, Mom jadi...."
"Kenapa kau malah menyalahkan dirimu?"
"Karena aku terlalu sibuk bekerja hingga tak menyadari kondisi Mom memburuk." Napas Jeanny tercekat. "Seandainya saja aku tidak terlalu sibuk, ini pasti tidak akan terjadi."
"Apa kau dokter?"
Jeanny menggeleng.
"Atau kau seorang psikolog?"
Lagi-lagi Jeanny menggeleng.
"Kalau begitu kau bukan tenaga profesional untuk menyelamatkan Margareth."
Mika menangkup wajah Jeanny dan menatap matanya dalam menembus ke dalam jiwa. "Keberadaanmu akan sangat dibutuhkan saat para dokter itu sudah menyelesaikan tugasnya. Kau akan hadir mendampingi Margareth, memberikan kehangatan dan ketenangan jiwa yang tak akan bisa diberikan siapa pun. Sebagai anak peremmpuannya." Suaranya yang berat, tapi merdu membawa Jeanny ke dunia lain. Tempat di mana kekhawatiran dan ketakutan menjadi kabut yang perlahan menghilang.
Perlahan Mike melepas tangannya lalu mendekap Jeanny lembut. Setelah beberapa waktu, Jeanny merasakan ketenangan yang sempat hilang.
Jeanny menyandarkan kepalanya di bahu Mike, merasakan detak jantungnya yang tenang dan teratur. "Terima kasih, Mike. Aku tidak tahu harus bagaimana tanpa kau," bisiknya.
Mike menatap Jeanny, matanya penuh dengan kasih sayang. "Kita saling membutuhkan, Jeanny. Bersama, kita bisa melewati apa pun," ucapnya sembari mengecup puncak kepala gadis itu.
Ada debar di hati Jeanny terasa. Bahu Mike tidak hanya bidang, tapi juga terasa melindungi. Sesuatu yang membuat Jeanny nyaman. Tidak ada debaran liar seperti yang ia rasakan saat berdampingan dengan Dom. Perasaan yang berbeda, tapi menyenangkan.
"Maaf, Miss Valentine?"
Suara wanita menyentak Jeanny hingga dia langsung berdiri panik.
"Bagaimana kabar Mom?"
"Ms.Valentine tadi sempat mencoba bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya."
Mendengar kalimat itu, Jeanny langsung terhuyung ke belakang dan dengan sigap Mike pun menangkapnya.
Question's Time:
💋 Ada apa sih sebenarnya dengan ibunya Jeanny?
💋 Kira-kira apakah Margareth akan meninggal?
💋 Apa kamu siap dengan fakta mengejutkan soal .... Jeanny?
Tekan ⭐ kalau kamu suka part ini! Jangan lupa bagikan ke teman-temanmu biar makin seru cerita ini!
Holy Kiss,
💋
[10 Agustus 2024]
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] DADDY's SEXY Doll - AGE GAP WARNING
Romansa🔞 [Memuat Konten Dewasa. Bijak memilih bacaan. Dosa tanggung sendiri. Kamu sudah diperingatkan.] ____________________________________________ Ada degup yang meliar di dada Jeanny, ketika seorang pria matang meninju si Berengsek yang berani menggang...