Jika kebanyakan manusia merasakan hal yang menyedihkan dan terus menyangkal, menangis dan melukai dirinya sendiri. Berbeda dengan Satya. Entah kenapa, sifatnya terlalu positif untuk manusia pada umumnya.
Satya terdiam menatap sekitar, suasana perpustakaan benar-benar menenangkan, pantas saja Jaka menyukainya. Kini Satya sudah kelas 12 SMA. Waktu terlalu cepat baginya. Rasanya baru kemarin dia bertemu dengan Jaka dan saling bercerita, tiba-tiba dia sudah kelas 12 saja.
Hari ini hari pertamanya menjadi dewasa karena Satya baru saja berulang tahun kemarin dan sudah menjadi siswa kelas 12 pagi ini. Bagi Satya duduk di kelas 12 sama saja dengan dewasa. Makanya Satya sering meninggalkan Jaka, karena dia harus berusaha mengatasi segalanya tanpa bantuan dari Satya.
Tapi tetap saja hari ini Satya bersama Jaka untuk mencari materi bersama-sama. Saat Satya sedang menatap ke sekitar seseorang mendatangi mejanya bersama Jaka. Jaka tersenyum dan menatap Jaka yang sudah menyadari kedatangannya.
"Kenapa terlambat? Kan aku sudah bilang setelah istirahat langsung datang." Ujar Jaka membuat anak bernama Jaya itu hanya meringis sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Maaf. Perutku sakit tadi." Jawab Jaya dengan tawa renyahnya.
"Ini siapa?" Tanya Jaya yang menunjuk Satya. "Ini Satya." Balas Jaka sehingga Jaya langsung duduk di antara Jaka dan Satya.
Satya langsung mengulurkan tangannya saat Jaya menempati kursinya. "Aku Satya, kamu?"
"Jaya." Balas Jaya yang menjabat tangan milik Satya.
"Nama yang bagus. Temannya kak Jaka ya? Ternyata teman-temannya kak Jaka tampan semua ya. Aku jadi iri." Ujar Satya dengan tawa indahnya membuat Jaya terpesona saat menatapnya.
"Ah, Satya itu kamu ya? Aku dengar kamu itu orang yang banyak bicara dan suka menebar tawa. Aku kadang sampai heran, bagaimana bisa ada manusia seperti Satya. Tapi itu ternyata memang ada. Kamu memang benar-benar baik ya. Jaka beruntung punya kamu sebagai saudara."
"Apa dia adik kamu?" Tanya Jaya kepada Jaka sehingga Jaka mengangguk semangat dengan rasa bangga. "Iya. Anak yang dikabarkan sebagai manusia sempurna ini adalah adik sepupu ku. Sayang dia bukan adik kandung ku. Andai dia adik kandung ku, pasti sudah aku katakan kepada seluruh dunia dan aku pamerkan. Aku bangga memiliki Satya." Ucap Jaka panjang lebar sambil menatap Satya dengan wajah bahagianya.
"Aku iri dengan hidupmu yang sempurna. Aku iri kamu punya saudara se-indah Satya." Lirih Jaya kemudian Satya memegang tangan milik Jaya.
"Jaya, juga mau jadi saudaranya Satya? Satya suka kalau ada yang mau jadi saudaranya Satya." Balas Satya dengan senyuman teduh miliknya.
Mendengarnya Jaya tak tertawa bahagia. Dia malah terdiam dan memikirkan segalanya sendirian.
"Satya, jangan menganggap ku saudara. Aku tidak pantas mendapatkannya."
"Jaya, siapapun bisa aku anggap saudara. Ayo jadi saudara. Walaupun kita tak punya hubungan apa-apa-"
"Kalau begitu jadi teman saja. Aku lebih nyaman jika kita jadi teman." Sela Jaya dan Satya tersenyum simpul lalu mengangguk saja sebagai jawabannya.
"Senang ya punya saudara. Aku juga ingin. Karena aku selalu sendirian." Ujar Jaya tiba-tiba sehingga Satya menoleh dan menatap Jaya dengan senyuman.
"Kenapa sendiri?"
"Ya, orangtuaku sibuk. Mereka hanya pulang sebulan sekali. Apalagi aku anak tunggal. Rasanya sunyi." Jawab Jaya dengan tawa mirisnya.
"Hei Jaya, kalau sepi datang saja. Kak Jaka dan aku akan selalu terbuka. Kapan pun kamu butuh kita pasti akan ada. Kan kita teman."
KAMU SEDANG MEMBACA
Manusia Terluka [REVISI]
Fanfic[angst, brothership, friendship] Aku hanya ingin tahu caranya bahagia, dan akhirnya setelah banyaknya tangisan dan teriakan, aku menemukan jawabannya. Aku bahagia. ©horanghiii2024