chapter 三十六

311 43 50
                                    

HAPPY READING

36






Aephndinhin, Hollard, 1945.

Gradasi langit menjelma cemerlang dan absolut saat terik mentari berpendar di atas kepala yang turut menyirami tanah ini akan berkas-berkas cahaya benderang. Gemeresik daun pepohonan apel terdengar seiring ranting bergoyang-goyang, membuat sinar matahari yang tercetak di atas rumput terpangkas pendek ikut berpindah-pindah. Aroma manis kue pai menari-nari berpartisipasi, tak sudi kalah dari bau ilalang kering dekat sekitar pagar yang membatasi kebun mungil itu.

Sebuah tangan terjulur ke atas kala berkali-kali telapak kaki pemuda tersebut berjingkat supaya dapat meraih buah-buah merah pekat yang kerap berhubungan dekat dengan dongeng Putri Salju dari pohon rindang nan tinggi. Sesekali punggung tangannya mengusap kening, menyingkirkan peluh sembari mengibas leher. Tampaknya panas sekali hari itu sampai tak terhitung sudah berapa kali ia mengembus napas.

"Tuan Muda Felix!" seru lantang gadis muda bertubuh ceking menarik atensi utuh pemuda bersurai hampir menyentuh pundak, "ah, maksudku, Tuan Muda Lixie!" Cepat-cepat Hanni meralat ucapannya ketika tatapan pemuda di dekat pohon sanggup memakan manusia hidup-hidup. Hanni terkekeh, menghentikan pergerakan tungkainya, lalu menghela napas lelah sebab sudah berlari-lari.

"Sudah kubilang bukan kalau namaku sekarang adalah Lixie? Jangan salah berbicara lagi," delik Felix tatkala Hanni memberi cengiran lebar tak berdosa, "Ada apa?" Felix memutuskan lanjut bertanya melihat Hanni hanya tersenyum ambigu tanpa memulai berbicara sedikit pun, kian menambah bubuk penasaran Felix meluap menyentuh puncak. Diteliti dari gelagat Hanni, sesuatu menyenangkan akan terucap.

"Anda harus ke luar sekarang! Ada perayaan besar-besaran di jalanan!" sorot pandang Hanni menggebu-gebu, "seperti sebuah parade!"

"Parade?" Felix balik mengucap tanda tanya. Bagaimana mungkin ada parade di tengah-tengah perang ini? Namun kemudian, Felix terperangah. Hampir saja ia melupakan bahwa satu hari silam, Terarastan telah mengaku kalah sehingga hari ini pasti menjadi waktu kemenangan negara-negara sekutu, termasuk wilayah yang kini ia tinggali, Aephndinhin.

"Ini adalah hari kejayaan kita, Tuan Muda Lixie!" dua pipi gadis muda itu bersemu merah akibat darah merongrong naik menyentuh wajah, "saya akan turun ke jalanan sekarang! Semoga Anda ikut serta nantinya!" Hanni kegirangan sembari melambai-lambai tatkala ia setengah berlari meninggalkan Felix yang menggeleng-geleng. Sudah bertahun-tahun lamanya tetapi Hanni tak kunjung membiasakan diri untuk bersikap dan berbicara santai dengan Felix meski Hanni bukan lagi pelayan di bawah kukungan Hyunjin.

Mengedar pandangan, Felix menilik Eugene yang terlihat tenang melahap kue pai di atas meja kayu di kebun kecil samping rumah. Helaian rambutnya teracak-acak angin yang sedari tadi berlalu-lalang. Dua pipi penuh anak lelaki tersebut mengunyah-ngunyah tanpa henti. Mendapati itu, Felix tak mempunyai pilihan selain tersenyum jenaka lalu menghampiri Eugene dan duduk di hadapannya.

"Papa mau?" Eugene yang sadar Felix memperhatikannya sembari menopang dahu di atas meja kayu berpoles mengkilat menyodorkan garpu bertusuk kue pai hangat.

Felix menggeleng. Jemari kanan Felix beralih mengusap sudut mulut Eugene yang ditinggalkan jejak oleh sisa kue pai. "Makanlah. Bagaimana? Enak?" tanya Felix tak kuasa menahan raut lucu Eugene saat tengah mengunyah.

Pertanyaan Felix dijawab oleh anggukan pasti terlampau yakin Eugene. Anak lelaki yang baru menginjak umur tujuh tahun tersebut menyengir, membuat rona merah di pipi Eugene kian bersemu. "Buatan Papa tidak pernah tidak enak!"

Nirvana in FireWhere stories live. Discover now