chapter 十四

188 32 8
                                    

HAPPY READING

14






Ketukan sol sepatu bergema di sepanjang lorong kecil bebatuan. Pandangan Felix yang kosong serupa boneka tali tanpa ekspresi, sungguh tak selaras dengan pergerakan kedua kakinya yang terus menapak maju. Kericuhan di ujung lorong sana tidak dapat terhiraukan ketika benaknya justru sibuk bermain-main sendiri, berkelana melintasi angkasa buram penuh tipu daya.

Perkataan Jake beberapa saat yang lalu terdengar cukup masuk akal. Sedari awal, Felix memang harus memperkirakan hal ini akan terjadi cepat atau lambat. Walau markas utama mengirim mereka bukan untuk membunuh Hyunjin, ia tahu bila akan datang saatnya ketika pria itu bersama organisasi iblisnya harus dibinasakan.

Tangan pemuda itu mengepal. Langkahnya lantas berhenti tanpa alasan. Pandangan Felix terjatuh pada sepatu kulit cokelat tua, membalut kedua kakinya dengan indah dan modis. Semua hal yang tengah ia kenakan adalah barang-barang pemberian dari pria itu. Sontak perasaannya terkencar-kencar tak karuan. Apakah mencoba meracuni Hyunjin merupakan tindakan yang benar?

Bukan karena semata-mata hanya mengenai finansial dan fasilitas menawan, jauh tertimbun di dalam perasaan pemuda itu, jelas Felix tahu jika Hyunjin bukanlah pria yang terlampau jahat nan bengis seperti organisasi maupun identitas yang tersemat pada diri Hyunjin. Sejujurnya, EVIG adalah sebuah kejahatan tak terampuni. Namun Felix tak ingin mengelak mengakui jika selama beberapa bulan hidup bersama Hyunjin, pria itu jelas memiliki kesan berbeda. Jauh berbeda ketimbang awal pertemuan mereka. Tidak segala rumor tentang Hyunjin terbukti benar, dan Felix mengetahui hal itu lebih daripada siapa pun.

Salah seorang gadis mungil di samping gerai memandangi Felix sepersekian detik sebelum mengalihkan tatapannya. Dua anak laki-laki juga sempat turut mencuri pandang memperhatikan Felix yang tengah menarik napasnya dalam-dalam. Pemuda itu hampir luruh; terjatuh ke bawah, seakan-akan tenaganya habis terhisap sia-sia.

Telapak tangan Felix menyentuh pipinya pelan. Sadarlah Felix, batinnya kemudian. Sekarang, ia harus memilih apa yang lebih penting dan patut untuk ia prioritaskan. Hyunjin bersama segala perasaan tak terjabarkan ini atau kewajibannya?

Wajah seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun terlintas di benaknya. Alex. Anak laki-laki lugu bersurai pirang keemasan, nyaris mirip dirinya. Alex adalah anak yatim piatu yang Felix temukan ketika salah satu panti asuhan tua pinggir kota ditutup. Pada saat itu, Felix telah kehilangan semuanya. Ayahnya juga adik laki-lakinya. Ia menemukan secercah harapan pada sepasang mata Alex dan memutuskan untuk merawat anak lusuh tersebut meski Felix tidak memiliki uang yang cukup. Hingga pada akhirnya, Felix memutuskan bekerja di bawah naungan organisasi NIA karena dengan begitu, Alex dapat sepenuhnya terjaga aman tanpa pernah sekali pun kelaparan.

Felix menggeleng. Bagaimana bisa ia hampir melupakan keberadaan Alex? Anak itu adalah penyebab utama mengapa ia bisa berada di tempat ini, bukankah begitu?

Mata terang Felix menatap lurus ke depan, memandang jalanan kota penuh sesak akan gerai-gerai kecil di pinggir trotoar. Tubuh pemuda itu masih berdiri di ujung lorong, hanya membutuhkan selangkah lagi untuk keluar. Kendati demikian, Felix tak kunjung melangkah. Manusia-manusia asing yang terus berlalu-lalang ternyata cukup menyita perhatiannya.

Mentari kini bersinar lebih terang dan menyengat, menangkis segala gelap hingga menampilkan dua buah kristal kecokelatan pada netra Felix; sungguh terlihat berkilauan diterpa hangatnya sang surya. Apa yang Felix akui kini, bukan hanya dirinya yang tengah berjuang di tengah nasib kemalangan ini. Mereka pun begitu: para manusia dari antah-berantah itu.

Nirvana in FireWhere stories live. Discover now