12: Second Year

87 12 3
                                    

"Rasanya baru kemarin aku mencium aroma asap Hogwarts Express.. Dan sekarang aku sudah muak dengan tanaman-tanaman aneh ini." 

Mary dan Lily terkikik, wajah murung Marlene benar-benar menarik. Gadis itu jarang murung kalau bukan karna pelajaran Herbology.

"Ini baru 2 minggu, Marl." Ucap Lily mengingatkan.

Mary mengangguk setuju, "Yeah, kau punya sekitar 3 bulan hingga libur Natal. Jadi berhenti murung seperti itu."

Marlene terlihat semakin malas, begitupun dengan bocah berkacamata di ujung meja bersama temannya yang berambut hitam.

"Kenapa harus dengan Slytherin?" Bisik James malas, bagaimana tidak? Daritadi siswa Slytherin disisi lain meja memperhatikannya dengan tatapan meremehkan.

Sirius menepuk pelan pundak kawannya itu, "Percayalah aku juga malas jika ada kelas gabungan bersama mereka."

"Aku iri pada Remus, alerginya selalu kambuh disaat yang tepat seperti ini."

Gumaman Peter disetujui oleh kedua temannya, kemarin alergi Remus kambuh lagi dan ia harus dirawat langsung oleh Madam Pomfrey hingga besok. Mereka tidak melihat kawan mereka itu sejak kemarin sore.

Professor mulai menyuruh mereka menggunakan penutup telinga, setelah itu mencabut Mandrake untuk dipindahkan ke tempat yang lebih besar.

"Bloody hell mereka benar-benar berisik." Umpat Evan Rosier menyingkirkan Mandrake ditangannya jauh-jauh.

"Percayalah Rosier, mulutmu jauh lebih berisik." Sindir Sirius pelan.

"Setidaknya kami bukan pengkhianat darah sepertimu."

Sirius berdecak kesal, hampir melemparkan bayi Mandrake di tangannya kepada Evan namun berhasil ditahan oleh James dan Peter.

Tangisan bayi Mandrake menggema disetiap ujung rumah kaca, James dan Sirius memulai kejahilan mereka dengan melepas penutup telinga milik beberapa teman mereka. Mengakibatkan beberapa siswa pingsan setelah mendengar tangisan bayi Mandrake.

Professor yang mengajar kebingungan dan menyuruh mereka segera memindahkan bayi Mandrake. Setelah semuanya selesai dipindahkan, siswa-siswa yang pingsan dipindahkan ke Hospital Wings. Dan karna hal itu baik James maupun Sirius terkena detensi pertama mereka.

Setelah jam pelajaran berakhir keduanya harus membersihkan rumah kaca secara manual dan tongkat mereka disita hingga malam tiba.

"Ayolah Mary, pinjamkan kami tongkatmu." Ucap James dengan tatapan putus asa.

Mary jelas tahu bocah itu hanya berpura-pura, "No. Itu salah kalian, lagipula tidak banyak yang harus kalian bersihkan disini."

"Kami ingin menjenguk Remus, Mary! Dia pasti kesepian di Hospital Wings sekarang. Apa kau tega?" Sahut Sirius pura-pura terlihat sedih.

"Bukankah dia tidak boleh dijenguk?"

"Hanya berbincang sebentar pasti bukan masalah, Madam Pomfrey pasti akan mengerti."

Mary terdiam sejenak, sebenarnya ia sendiri penasaran apakah Remus lagi-lagi terluka cukup parah seperti malam itu. Malam saat ia menemukan Remus di Hospital Wings tahun lalu.

Lily menyenggol lengan kawannya itu, "Jangan pinjamkan tongkatmu pada mereka, Mary. Mereka hanya ingin cepat-cepat selesai dari detensi."

James dan Sirius melotot pada Lily dan gadis berambut merah itu hanya menaikan bahu tidak peduli.

"Kalian hanya akan mengganggu waktu istirahat Remus sekarang. Jadi lebih baik kalian bersihkan saja tempat ini. Good luck." Ujar Mary final membuat James dan Sirius pasrah.

...

Beberapa siswa keluar dari Hospital Wings, wajah-wajah yang diingat Mary sebagai korban kejahilan James dan Sirius siang tadi.

"Kami akan langsung ke Hall, is it okay for you to go there alone?" Tanya Lily memastikan.

Mary ingin melewatkan makan malam di Hall malam ini untuk menjenguk Remus. Karna ini saatnya makan malam, sudah pasti Madam Pomfrey tidak ada di kantornya dan ikut bergabung dengan staff lain di Great Hall.

"Tidak apa apa, Lily. Aku akan kembali ke asrama sebelum jam malam."

"Okay, see you later."

Begitu Lily dan Marlene pergi, Mary segera masuk kedalam Hospital. Benar saja, Madam Pomfrey tidak ada.

Beberapa ranjang terlihat berantakan namun kosong, mungkin bekas anak-anak yang pingsan tadi. Hanya ada 1 ranjang dengan tirai tertutup.

Rasanya seperti Deja Vu, Mary berjalan mendekat ke arah ranjang tersebut. Perlahan membuka tirai yang menutupnya.

"Good evening, Remus." Ucap Mary melihat bocah berambut coklat itu berbaring disana.

Perlahan Remus membuka kedua matanya, memicingkannya untuk meyakinkan bahwa yang dilihatnya bukan mimpi ataupun ingatan lamanya setahun yang lalu.

"Mary?"

"Yeah?"

"Are you real?" Tanya Remus mengubah posisinya menjadi duduk.

Mary tertawa kecil, menunjukkan sekeranjang permen yang ia bawa. "Of course I am. Aku membawa ini untukmu."

Mary menarik sebuah kursi dan duduk disamping ranjang Remus. Ia memperhatikan bocah laki-laki itu, lagi-lagi terlihat bekas luka baru di leher dan lengannya.

"Aku pasti terlihat mengerikan." Gumam Remus tersenyum getir, luka barunya belum sepenuhnya pulih.

Mary menggeleng pelan dan mulai membukakan bungkus coklat yang sering dimakan Remus.

"Mary, I know you're scared. Aku juga takut pada diriku sendiri."

Tangan gadis kecil itu berhenti, ia menatap kedua mata Remus yang sekarang ia sadari berwarna hazel-brown.

"Kau sok tahu sekali, Remmy." Sahut gadis itu dengan senyuman di sudut bibirnya, ia kembali membukakan bungkus coklat dan menyodorkannya.

Remus membuka mulutnya, membiarkan gadis itu memasukkan coklat yang biasa ia makan. "Tentu saja aku tahu, Mary. Aku selalu melihat diriku sendiri saat bercermin."

"Then what? Kau menyadari bahwa perkataan James dan Sirius tentangmu benar? Bahwa luka-luka ini membuatmu terlihat keren?"

"Keren? Mereka pernah bilang tentang itu, tapi itu sebelum mereka tahu bahwa luka ini adalah karna-"

Remus tidak meneruskan ucapannya, bocah laki-laki itu terdiam seketika. Memilih untuk mengunyah coklat di mulutnya perlahan. Wajahnya kembali terlihat murung.

"Ini sama sekali tidak keren, Mary."

Mary memukul pelan lengan Remus, berusaha mengembalikan semangat di wajah sang teman.

"Hey, berasal dari manapun, luka tetaplah luka. Dan menurutku mereka benar, kau keren, Remmy."

"Bahkan meskipun luka ini berasal dari tanganku sendiri?"

"Menurutku, justru itu luka yang paling keren." Balas Mary jujur.

Remus menghela nafas panjang, "Why?"

"Bukankah itu tandanya kau terbiasa menyakiti dirimu sendiri? Dan saat kau terbiasa melukai dirimu sendiri, itu tandanya kau tidak pernah ingin melukai orang lain, Remmy."


Hi Mr. Wolf Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang