Mary memperhatikan dari atas tribun, lapangan Quidditch terlihat ramai meskipun tidak seramai saat ada pertandingan.
Ia bisa melihat James dan Sirius yang terselip diantara kerumunan siswa Gryffindor di lapangan Quidditch. Mereka ikut seleksi pemain Quidditch tahun ini.
"Kau tidak ikut?" Seseorang ikut duduk disampingnya.
Bau coklat yang dikunyah bocah laki-laki itu terlalu khas.
"Ikut? Untuk apa aku ikut, Remmy?" Balas Mary balik bertanya.
"Kau bisa terbang dengan baik, Mary. Flying is your talent."
"But not Quidditch, right?"
Remus menggeleng tidak setuju, "Aku yakin kau juga bisa menjadi pemain Quidditch yang handal."
Mary tersenyum dan terdiam sejenak. Ia memang suka terbang, berada diatas broomstick membuatnya merasa lebih bebas. Dan ada alasan lain yang membuat gadis kecil itu suka terbang.
"I love flying with my broomstick."
"I know, Mary. Chocolate?" Remus menawarkan coklat dari sakunya.
Mary mengambil coklat itu dan membukanya perlahan, memakannya sedikit demi sedikit untuk menikmati rasa manis kuat di dalam mulutnya.
Gadis itu menatap ke arah langit, biru yang sangat indah. Biru yang Mary ingat sama seperti warna mata Ibunya yang tidak lagi ada disini.
"Mum meninggal sebelum aku bisa menggunakan broomstick.." Ucap Mary lirih, membuka kenangan yang indah bersama sang ibu namun juga menyakitkan.
"I'm so sorry to hear that.." Suara Remus terdengar sama lirihnya.
Seutas senyum terlihat di wajah Mary, gadis itu menghela nafas panjang sebelum melanjutkan ceritanya.
"Aku selalu percaya dia ada diatas langit, menjelma menjadi bintang yang tidak akan terlihat saat matahari menampakkan diri."
"Aku juga percaya itu, Mary. Mereka yang telah meninggalkan kita pasti berubah menjadi bintang di langit malam."
"Di ulang tahunku yang ke 10, ayah memberikan sebuah Broomstick. Aku berlatih sendirian di halaman belakang..-"
Mary menutup matanya membayangkan saat-saat itu.
".. Dan saat sapuku mulai terbang dan kakiku tidak menyentuh tanah, rasanya aku menjadi lebih dekat dengan langit. Rasanya aku lebih dekat dengan mum dan dia bisa melihatku lebih jelas."
Remus hanya diam dan memperhatikan, ia belum pernah kehilangan- mungkin pernah tapi bukan sesuatu yang berharga seperti orang yang ia sayangi. Jika itu terjadi, mungkin ia akan kehilangan kewarasannya sebagai manusia dan tidak akan cukup berani menjalani hidup sesuai keinginannya sendiri. Namun gadis kecil di sampingnya jelas tidak begitu.
Saat Mary kembali membuka matanya, gadis itu terlihat benar-benar dewasa di mata Remus. Mungkin diantara teman-temannya yang lain, Mary adalah yang paling pemberani. Bahkan setelah merasakan trauma kehilangan orang yang ia sayangi, Mary tidak menutup diri untuk mengenal orang baru. Ia tidak takut pada apapun yang akan terjadi nantinya.
"Jangan mengasihaniku, Rem." Kata Mary tertawa kecil, menyelipkan anak rambut yang menutupi pandangannya.
"Tidak sama sekali."
"Then why do you looking at me like that?"
Remus berusaha menunjukkan senyumnya yang paling hangat, "Because I'm proud of you, Mary."
Alis Mary terangkat, "Why?"
"You-"
Belum sempat Remus melanjutkan ucapannya, teriakan dari tengah lapangan membuat kedua bocah itu menoleh.
"MARY!!! REMUS!!! MENJAUH DARI SANA!!!"
Mary memicingkan matanya, memperhatikan benda kecil yang makin lama terlihat membesar dan mendekat. Sebuah Bludger mengarah ke mereka dengan kecepatan tinggi.
"Oh no.."
"What?!"
Mary menarik tangan Remus, membuat bocah itu terkejut setengah mati saat Mary membuat mereka jatuh dari tribun. Remus menutup matanya, membayangkan betapa sakitnya membentur lapangan Quidditch. Namun tepat sebelum mereka membentur tanah berumput itu, Mary melafalkan mantra dan mereka melayang sejenak sejengkal diatas tanah sebelum akhirnya jatuh.
Remus jatuh menelungkup mencium rumput segar sedangkan Mary jatuh terbaring menatap langit.
"Wah, aku iri sekali. First kiss-mu adalah lapangan Quidditch." Goda Mary terkikik.
Wajah Remus memerah seketika, ia langsung mengubah posisinya menjadi berbaring juga. "That's not funny, you know?"
Sirius menangkap bludger yang menggila dibantu beberapa siswa lainnya, James dan beberapa pemain Quidditch senior segera menghampiri Remus dan Mary.
"SORRY!!!"
Teriakan Sirius menggema dipenjuru lapangan Quidditch, membuat Mary dan Remus bertukar pandang.
"Kurasa Sirius tidak cukup berbakat."
"Kau juga berpikir hal yang sama?"
"Mh-hm.. Permainannya benar-benar buruk, harusnya ia jadi asisten McGonagall saja."
Tawa kedua bocah itu tidak dapat di tahan, keduanya tertawa kencang saat masih berbaring. Membuat James dan yang lainnya bingung.
"Apa kalian berdua baik-baik saja?" Tanya James turun dari sapunya, mengulurkan tangannya untuk membantu mereka berdiri.
Mary menerima uluran tangan James dan berdiri, kemudian membersihkan tanah dan rumput dari celananya. "As you can see, James."
Remus berdiri sendiri dan mengangguk pelan, "I'm fine, don't worry."
"Are you two really okay? Kami benar-benar minta maaf, tidak ada yang tahu bludger itu akan sangat gila hari ini." Sahut Kapten Quidditch turun dari sapunya.
Mary mengangguk cepat, "We're okay, sebaiknya perbaiki dulu saja Bludger itu."
Kapten Quidditch itu menghela nafas lega, "What a relief.. And yeah, aku akan pastikan Bludger itu tidak keluar arena lagi."
Para senior kembali ke tengah lapangan, begitupula dengan James dan Sirius. Sirius meminta maaf karena ia telah memukul Bludger gila itu dan tidak menyadari arahnya. Remus dan Mary sepakat bahwa mereka sama-sama baik-baik saja dan tidak terluka meskipun faktanya pergelangan tangan Mary lecet saat mendarat.
"This is why I'm proud of you, Mar. You're so brave." Ucap Remus tertawa, pemikirannya terbukti benar.
Mary memutar bola matanya, "Itu hanya kebetulan."
"Kebetulan tidak akan mungkin menyelamatkan kita dari Bludger."
"Well, mungkin itu keberuntungan. Aku bisa menyaksikan first kiss seorang Remus Lupin dengan rumput lapangan Quidditch."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi Mr. Wolf
FanfictionTimeline sebelum Dear Frederick, menceritakan kehidupan Marianne Rose Brosvett di Hogwarts dan kisahnya dengan Remus Lupin. ... "Jika reinkarnasi benar-benar ada, kau ingin terlahir sebagai apa Remmy?" "Aku ingin menjadi apapun selain manusia ser...