2

72 4 0
                                    

Saat Nala melangkah masuk, aroma khas rumah Bunda Hanaya yang hangat menyapanya. Dia melihat sekeliling, mencari adik sepupunya, Anin. Namun, rumah itu tampak sepi.

"Anin mana, Bunda?" tanya Nala, sedikit penasaran.

Bunda tersenyum meminta maaf. "Anin udah pergi lebih awal. Dia ada janji maraton pagi dengan teman-temannya di kompleks. Anin minta Bunda menyampaikan maafnya karena nggak bisa nyambut kamu datang, Nala," bisik Bunda pelan, sambil melirik ke arah Farhan, papanya Nala, yang sedang terlibat percakapan kecil dengan istrinya di ruang tamu. "Tapi jangan khawatir, Anin juga bilang kalau siang nanti dia bakal ajak kamu keluar. Kita rahasiakan ini dari Papa kamu, ya," tambahnya sambil tersenyum nakal.

Nala tidak dapat menahan senyumnya karena senang. Di rumah Bunda, dia merasa bisa merasakan sedikit kebebasan yang jarang dia rasakan di rumah. Dia mengangguk dan menjawab, "Iya, Bunda. Nala senang dengarnya jadi nggak sabar."

Tidak lama setelah itu, suara langkah kaki menuruni tangga terdengar. Nala menoleh dan melihat Areka, abang sepupunya, muncul dari lantai atas. Sudah lama mereka tidak berinteraksi, dan Nala merasa sedikit canggung.

"Hai, Nal," sapa Areka dengan senyum ramah.

Nala membalas dengan senyum dan anggukan kecil. "Hai juga, Bang," jawabnya seadanya, mencoba menyembunyikan rasa canggungnya.

Areka kemudian bergabung di ruang tamu. Tak lupa lelaki itu juga menyalami orang tua Nala.

"Kamu ini, Bang! Udah Bunda bilang kalau Nala bakal datang pagi-pagi, kenapa baru turun?" Hanaya bertanya dengan nada menuntut. Dia memandang anak pertamanya sambil menggelengkan kepala. Hatinya merasa tidak nyaman kepada Farhan dan Lita karena anak bungsunya sedang pergi dan anak sulungnya justru terlambat menyambut mereka.

Sorot mata Areka mengarah pada bundanya. Dia menyadari dari ucapan Bunda terselip sedikit rasa kesal. Lantas senyuman lembut terukir pada wajah rupawannya. "Maafin Abang ya, Bunda? Tadi Abang habis nyicil tugas dulu jadi nggak sadar kalau di bawah udah rame," jawabnya jujur.

Keterlambatannya menyambut kedatangan keluarga Nala dikarenakan Areka yang masih berkutat dengan laptop. Fokusnya terlalu tertuju pada tugas sampai melupakan pesan Bunda tentang sepupunya yang akan datang ke rumahnya pagi-pagi sekali di hari Mingggu ini, padahal dia sengaja menyibukkan diri dengan tugas kuliah untuk menunggu, tetapi malah berakhir tidak seperti yang diharapkannya. Memang pada dasarnya Areka itu kalau sudah dihadapkan dengan belajar, tugas, atau pekerjaan pasti akan lupa waktu dan sekitar.

"Jangan dimarahi, Han. Kamu harusnya senang karena Areka tumbuh menjadi anak yang rajin. Kerajinan itu pasti akan sangat berguna di masa depan. Apalagi kalau nanti dia sudah bekerja atau bahkan membuka perusahaan sendiri," celetuk Farhan marasa tidak terima kerajinan Areka malah berbuah protes dari sang bunda, Hanaya yang notabenenya adalah adiknya sendiri. "Lagi pula kita ini keluarga. Nggak perlu disambut seperti tamu penting."

Kemudian terdengar tawa kecil dari Areka. "Papa bisa aja, tapi Areka memang udah rajin dari dulu, sih," ujarnya menyombongkan diri, sekaligus untuk mencairkan suasana.

"Anak baik nggak boleh sombong, Bang." Lita, mamanya Nala, mengomentari tingkah Areka dengan nada bercanda.

Mendengar itu, Areka turut mebalas dengan bercanda, "Mama, ini bukan sombong, ini namanya memotivasi diri sendiri. Lagi pula, kalau Abang nggak rajin, nanti siapa yang mau sombongin diri sendiri di keluarga ini?"

Semua orang di ruangan tertawa mendengar balasan Areka. Suasana menjadi lebih santai dan akrab. Nala merasa lebih nyaman, canggungnya perlahan mencair, dan dia mulai menikmati kebersamaan dengan keluarga besarnya.

Nala turut memperhatikan bagaimana Areka memanggil orang tuanya dengan sebutan "Papa" dan "Mama". Panggilan tersebut tak jauh berbeda dengan dirinya yang memanggil "Bunda" kepada Hanaya. Hal ini menjelaskan hubungan keluarga mereka yang begitu dekat dan saling menyayangi.

DRAGGING US DOWNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang