4

61 5 0
                                    

Keesokan harinya, seperti biasa, Nala memulai rutinitas paginya dengan salat subuh, diikuti peregangan ringan untuk menyegarkan tubuhnya. Setelah itu, dia segera merapikan kamar dan mandi, memastikan dirinya siap untuk menghadapi hari Senin dengan penuh energi.

Kemudian setibanya waktu sarapan, Nala dan keluarga bundanya telah siap di meja makan. Pandangan Nala lalu terarah pada menu sarapan yang tersaji. Nasi goreng kubis dan sosis hasil buatan tangan Bi Ratih. Nala mengenalinya dari cara penyajiannya yang kelewat dia kenal. Di piring miliknya terdapat banyak kubis yang sengaja dilebihkan karena tahu dia menyukainya.

Kalau kata Bunda sih, dirinya sengaja langsung meminta Bi Ratih membuatkan menu sarapan kesukaan Nala begitu ART-nya itu datang ke rumah pagi-pagi sekali untuk kembali bekerja. Bunda begitu menyayangi Nala seperti anak kandung sendiri jadi dia ingin memberikan yang terbaik.

Nala tentu saja merasa senang karena bisa menikmati nasi goreng yang enak buatan Bi Ratih. Jadi, dia menyempatkan berterima kasih terlebih dahulu sebelum mulai menghabiskan sarapannya yang sangat menggugah selera.

Suasana pagi di meja makan kali ini juga sama hangatnya. Mereka menyantap sarapan dengan penuh canda tawa dan obrolan ringan, membuat Nala merasa semakin nyaman dan diterima.

Tak lama kemudian, waktu untuk berangkat pun tiba. Bunda Hanaya bersiap membawa mobilnya sendiri dengan Anin, karena sekolah Anin searah dengan letak perusahaan Nawasena Reality berdiri kokoh yang merupakan tujuannya. Oleh karena itu, setiap hari Bunda selalu pergi bersama anak bungsunya. Lain halnya dengan Areka yang sendirian di dalam mobil sport-nya karena harus mengambil arah berbeda.

Namun, selama seminggu ini Hanaya merasa senang mengetahui anak sulungnya tidak lagi sendirian, melainkan ada Nala yang menemani untuk berangkat ke kampus bersama.

"Yuk, Nala. Kita berangkat sekarang," kata Areka sambil mengangkat kunci mobilnya.

Nala mengangguk dan mengikuti Areka keluar. Dia berjalan mendekati mobil sport milik abangnya yang terlihat begitu elegan dan nyaman.

"Duduk di depan ya, Nal," kata Areka sengaja mengingatkan agar Nala tidak menuju pintu mobil bagian belakang seperti kemarin. Dirinya bukan sopir dan tidak mau terkesan begitu jauh, padahal dengan adik sepupunya sendiri.

"Iya, Bang." Nala tersenyum. Meski mungkin canggung tetap akan terasa, tetapi Nala juga berpikir bahwa inilah kesempatan agar hubungannya dengan Areka yang merenggang bisa kembali seperti ketika mereka masih kecil.

Begitu di dalam mobil, Nala menyempatkan membuka ponselnya. Jemari lentiknya mengetikkan balasan pesan untuk mamanya serta mengabari keberangkatannya ke kampus bersama Areka.

Mobil kemudian melaju dengan nyaman membelah jalanan kota Jakarta.

Tak selang berapa lama, terdengar suara Areka mengalun yang menjadi pembuka percakapan. Nala mensyukuri itu karena dirinya masih memikirkan ide obrolan.

"Nala, jadi gimana kuliah lo? Masih enjoy?" tanya Areka, terlihat penasaran.

Nala mengangguk. "Iya, Bang. Masih enjoy, tapi kadang-kadang tugasnya bikin pusing."

Areka menerbitkan senyum manisnya. "Ya, namanya juga anak kedokteran. Pasti banyak yang bikin pusing. Tapi gue yakin aja sama lo, sih, Nal. Lo kan pintar dari dulu. Selalu masuk tiga besar. Percaya diri aja, pasti bisa kok."

Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela mobil menyoroti wajah Nala. Matanya yang besar dan cerah memancarkan kebahagiaan, sementara bibirnya yang mungil melengkung sempurna. Mendengar ucapan Areka yang selalu percaya padanya, Nala merasa hatinya mengembang dengan semangat dan keyakinan. Abangnya selalu tahu bagaimana membuatnya merasa didukung dan dihargai.

DRAGGING US DOWNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang