Udah tripple up, masa nggak vomen? (≧▽≦)
~~~~HAPPY READING~~~
Siang itu, Nala dan Areka akhirnya berangkat ke tempat servis. Nala tidak bisa mengabaikan permintaan Bunda yang terus menekannya untuk segera memperbaiki ponselnya, karena Papa dan Mama terus-menerus mencoba menghubunginya. Meskipun masih merasa enggan, Nala akhirnya mengalah dan setuju.
Di dalam mobil, suasana tegang dan hening. Nala menatap lurus ke depan, menghindari Areka, sementara Areka fokus pada jalan dengan pikiran yang kacau. Mereka berdua merasakan jarak yang lebar di antara mereka, merasa marah dan terluka, sementara usaha untuk memperbaiki hubungan yang sempat membaik kini terasa sia-sia. Keheningan itu menambah beban emosional yang mereka rasakan, menandai betapa sulitnya mereka menghadapi kenyataan yang tidak terhindarkan.
Dalam perjalanan menuju tempat servis, Nala merasakan campuran emosi yang tidak tertahankan. Kekecewaan, kemarahan, dan kesedihan berputar dalam hatinya, mencabik-cabik perasaannya.
Keheningan terus menyelimuti hingga Areka mulai berbicara, meminta maaf dengan suara yang berat, membuat Nala merasa tersayat.
"Nala ...." Suaranya terdengar pelan, hampir seperti bisikan, "Gue ... gue minta maaf. Apa yang terjadi semalam, itu salah. Gue benar-benar menyesal."
Nala tidak bisa berkata apa-apa. Hanya ada kesedihan yang semakin mendalam. Dia menatap lurus ke depan, berusaha menahan air mata yang menggenang. Permintaan maaf itu mungkin adalah yang terbaik yang bisa dia dapatkan saat ini, tetapi itu tidak cukup untuk menenangkan gejolak hatinya.
Setelah beberapa saat, Areka kembali membuka mulut, kali ini dengan nada yang lebih pelan dan hati-hati, "Nala ... gue tahu ini sangat sulit, tapi kita harus realistis. Gue nggak mau ada konsekuensi yang lebih besar dari ini. Mungkin ... mungkin lo harus minum pil kontrasepsi darurat."
Kata-kata itu menusuk hati Nala seperti sembilu. Dia merasa sesak, hampir tidak bisa bernapas. Betapa menyakitkan mendengar permintaan itu, seolah apa yang terjadi semalam tidak hanya merenggut tubuhnya, tetapi juga masa depannya. Namun, dia tahu Areka benar. Dengan mimpi menjadi dokter yang telah dia kejar sejak kecil, Nala tidak bisa mengambil risiko yang lebih besar lagi. Namun tetap saja, mendengar Areka menyarankan itu membuat hatinya terasa seperti diremukkan.
Areka melanjutkan dengan suara yang bergetar, "Tolong, Nala .... Biarkan ini jadi rahasia kita berdua aja. Kita nggak mungkin nambah luka ke hati keluarga kita. Kalau mereka tahu ... mereka pasti kecewa banget. Papa dan Mama ... mereka akan murka, Nala. Gue nggak bisa bayangin apa yang akan terjadi kalau mereka tahu. Ingat waktu itu? Gue nggak mau lo ngelewatin hal kayak gitu lagi."
Nala terdiam. Ingatan itu menghantamnya seperti gelombang pasang. Masa lalu yang membuatnya masuk ke SMA berasrama kembali menghantui. Dia tahu Areka benar—jika orang tua mereka tahu apa yang telah terjadi, hidupnya bisa berantakan. Keinginan Areka untuk merahasiakan ini bukan hanya demi dirinya, tetapi juga demi Nala. Namun, berat rasanya menerima kenyataan bahwa rahasia kelam ini harus terus tersembunyi, menggerogoti jiwanya dari dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
DRAGGING US DOWN
ChickLitNaladhipa Aira Nawasena, seorang gadis yang sebenarnya hidupnya lurus-lurus saja. Hingga suatu hari hidupnya berubah karena kehadiran janin di dalam perutnya. Nala tidak salah. Dia jelas sekali hanya korban. Laki-laki itu yang sudah membuat hidupny...