3

68 5 0
                                    

Pada malam harinya.

Nala, Bunda, Anin, dan Areka duduk bersama menikmati makan malam yang mereka siapkan dengan cinta.

Makanan yang tersaji adalah hasil kerja keras Bunda, Nala, dan Anin. Kebetulan, Bi Ratih asisten rumah tangga mereka, selalu pulang ke rumahnya sendiri setiap akhir pekan sebagai jatah libur, sehingga mereka sepakat menghabiskan waktu di dapur bersama-sama untuk membuat menu makan malam hari ini.

Areka, yang tidak ikut membantu memasak karena menghabiskan waktu bersama kekasihnya, kali ini berperan sebagai tukang icip atau juri masakan. Dia berlagak bak juru masak andal yang tengah mengomentari hasil masakan para peserta. "Hmm, mari kita lihat apa yang kita punya di sini," katanya dengan nada dramatis.

Dia mencicipi masakan pertama dan berkomentar, "Seperti biasa, masakan Bunda selalu enak. Nggak ada tandingannya."

Bunda Hanaya tersenyum, merasa bangga telah mendapat pujian dan dua jempol dari anak sulungnya. "Makasih, Bang. Tapi Bunda penasaran nih bagaimana dengan masakan Nala dan Anin? Apa akan mendapat pujian juga dari juri kita ini?"

Areka kemudian mencicipi masakan Nala. "Oh, ini enak! Cita rasanya pas. Nala udah banyak belajar, ya. Good job, Nal."

"Makasih, Bang." Nala tersenyum malu-malu.

Terakhir, Areka mencicipi masakan Anin yang terlihat tidak menjanjikan. Namun, setelah mencicipinya, dia berkata, "Ternyata enak, ya. Nggak kayak penampilannya yang di luar nurul."

Komentar dari Areka itu tentu saja mengundang tawa Nala dan Bunda. Berbeda dengan Anin yang mencebik tidak terima diledek oleh abangnya. "Ish, Abang! Hargai usaha Anin, dong. Lagian kok menilai sesuatu dari penampilan, sih? Nggak seru."

"Enak kok, Dek. Udah banyak kemajuannya," puji Areka sambil mengacak gemas rambut adiknya. "Tapi tingkatin lagi, ya."

Anin yang sudah senang dipuji langsung cemberut lagi. Namun, jauh dari itu dirinya juga tahu bahwa hasil masakannya perlu peningkatan. Memang benar kalau rasa yang paling penting dalam masakan. Meski begitu, penampilan juga harus diperhatikan untuk menambah daya tarik.

Setelah merenungkannya Anin pun tersenyum lebar, menerima semua komentar abangnya tentang masakannya. "Hm, iya Bang. Serahin aja sama Anin. Ke depannya Abang pasti bakal puji masakan Anin terus," balasnya percaya diri.

Mereka akhirnya menyantap makan malam dengan perasaan bahagia. Percakapan mengalir lancar, dengan Anin yang paling banyak membuka mulut. Anindhita Rumi Nawasena yang kini duduk di bangku SMA kelas sepuluh itu juga menceritakan bagaimana dia mengajak Nala keluar untuk menikmati hari Minggu. Mereka pergi ke kedai es krim langganan Anin dan berbagi cerita satu sama lain.

Areka yang mendengar cerita adiknya, diam-diam merasa iri tidak bisa ikut karena dirinya sudah memiliki agenda bersama kekasihnya. Namun, jauh di dalam hatinya, cucu tertua Nawasena itu merasa sangat senang bisa melihat Nala mendapat kelonggaran saat berada di rumah mereka. Dia sudah lama tidak melihat senyum Nala yang ceria seperti itu, yang membuat hatinya hangat.

Di sela-sela percakapan, Bunda menyela, "Oh ya, selama seminggu ini, Bunda harap Abang sama Nala bisa pergi bareng ke kampus. Kalian kan satu kampus jadi memang lebih baik begitu."

Nala menatap Areka dan melihat abang sepupunya itu terdiam sejenak. Dia jadi berpikir mungkin abangnya keberatan karena suatu alasan. Namun, tak lama suara lelaki itu mematahkan pikirannya.

"Tentu, Bunda." Areka mengiakan dengan senyum kecil. "Kita pasti bakal pergi bareng."

Nala merasa lega, tetapi juga sedikit tidak enak. Mau bagaimanapun, dia tidak bisa mengenyahkan sepenuhnya pikiran tentang keterdiaman abangnya itu walau hanya dalam sekian detik. Namun, Nala tidak bisa menolak permintaan tersebut ketika Bunda mengatakannya dengan bersemangat.

DRAGGING US DOWNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang