Holaa balik lagi dengan Sahara & Edgar🎉 Jangan lupa vote, comment, share ke kawans kalian, dan follow akun wattpad dan Instagram sudutmataa yaa ;)
Selamat menjelajahi kisah Sahara 🙌🏻Aku tunggu notif kalian ;) enjoy!
-*-
Gita dibuat tercengang oleh kisah hidup Sahara. Dimulai dari cerita pertemuan Sahara dan Edgar pertama kali yang mampu membuatnya tersipu sampai pada saat di mana Sahara harus meninggalkan Edgar, yang tentu saja berhasil membuat hati Gita ikut merasa nyeri.
Sahara akhirnya menceritakan kisahnya bersama Edgar pada Gita. Setelah paksaan setengah mati yang perempuan itu lakukan Sahara akhirnya menyerah. Sahara juga menceritakan alasannya meninggalkan Edgar karena ia percaya Gita bisa menjaga rahasianya dan tidak akan menghakiminya.
Di dunia ini, selain Sahara hanya ada tiga manusia yang mengetahui alasan Sahara meninggalkan Edgar. Gita tentu menjadi orang ketiga yang tahu setelah ibunya. Untung saja Sahara bercerita setelah keduanya selesai makan malam, jika tidak mungkin makanan pesanan Gita tak akan disentuhnya. Karena pasti tenggorokan Gita tercekat, tak mampu untuk menelan.
"Gue gak tahu harus ngomong apa," Gita berusaha mencari pasokan udara sebanyak-banyaknya. Rasanya, ia ingin menangis setelah mendengar cerita pilu Sahara. Padahal bukan ia yang mengalami, tapi melihat Sahara yang selama ini ternyata begitu kesulitan, Gita rasanya tidak bisa membayangkan jika hal itu terjadi padanya. "Jadi sampai sekarang Pak Edgar gak tahu keberadaan Lyra?"
Sahara menggeleng lemah, tak ada gerakan lain yang mampu menjawab pertanyaan Gita selain gelengan kepala. "Dia tahu gue hamil aja enggak. Gue memang gak berniat memberi tahunya, apalagi sekarang hidupnya sudah baik-baik aja tanpa gue. Gue gak setega itu untuk menghancurkan hidupnya yang sudah baik-baik aja, Git."
"Sorry, Sahara. Bukan gue mau menggurui," Gita akhirnya membuka suara setelah terdiam cukup lama, setelah lebih banyak mendengarkan kisah Sahara. "Tapi coba pikirin baik-baik lagi, apa pilihan lo itu adalah pilihan terbaik? Maksud gue, bukannya Pak Edgar harus tahu keberadaan Lyra di dunia ini? Anak kalian. At least, lo pikirin gimana perasaan Lyra. Dia berhak tahu siapa ayahnya, kan? Dia berhak dapat kasih sayang dari ayahnya."
"Lo gak tahu apa-apa soal Kadhiraharjo. Lyra bukan bagian dari harapan keluarga Kadhiraharjo. Gue gak tahu apakah hak itu juga berlaku sama Lyra atau enggak," Sahara menghela nafas gusar. Setiap mengingat keluarga itu, rasanya seperti ada puluhan belati yang menusuk relung hatinya. "Karena yang gue tahu, apapun yang berkaitan sama gue gak akan pernah diharapkan sama keluarga itu."
-*-
Sahara sampai di rumah hampir tengah malam. Tubuhnya sudah lelah, pikirannya sudah kusut. Ia harus segera bersih-bersih, lalu tidur untuk mengistirahatkan diri. Ketika melewati ruang tamu, Sahara mendapati ibunya sedang menjahit kancing seragam milik Lyra. Sahara mendekat ke arah ibunya setelah mengucap salam, ia lalu menyalami tangan wanita yang melahirkannya itu.
"Kok belum tidur, Bu?" tanya Sahara yang mengambil posisi duduk tepat di sebelah ibunya.
"Ibu habis kelarin jahitan," jawab Sintia, ibunya, dengan suara lembut. Tangannya masih terus bekerja memasang kancing seragam cucunya.
"Lyra sudah tidur?" Sahara memandang ke arah kamarnya yang ia dan Lyra tempati berdua. "Dia gak nunggu aku kan, Bu?"
"Dia sudah tidur dari jam sembilan, Ibu yang bilang kalau kamu pulang agak malam."
"Syukurlah," Sahara lega. "Makasih ya, Bu."
"Kamu seperti sama siapa aja," kilah Sintia halus.
"Ya, aku tetap harus berterimakasih sama Ibu. Ibu yang sudah bantu aku jaga Lyra."
"Iya, iya," Sintia pasrah. "Ibu nurut aja."
Setelah itu keheningan menyapa ibu dan anak itu. Selang beberapa lama Sintia akhirnya menyelesaikan jahitannya. Ia melipat rapi seragam cucunya, lalu meletakkan seragam Lyra di atas meja tamu. Sedangkan Sahara bergelut dengan isi kepalanya sendiri, tentang apakah ia harus memberi tahu ibunya soal rencananya yang akan resign dari kantor.
Sahara akhirnya memutuskan untuk bercerita setelah menimbang-nimbang. Mau bagaimana pun ibunya juga berhak tahu kondisinya sekarang. Namun ketika akan membuka suara untuk menceritakan niatnya, Sahara terjeda, dan memilih untuk mendengarkan ucapan ibunya yang sudah lebih dulu bersuara.
"Tadi waktu jemput Lyra, Ibu dipanggil ke ruang tata usaha, Nak. Katanya Lyra belum melunasi SPP lima bulan dan sekolah minta dilunasi minggu ini. Jadi Ibu langsung bayar waktu sekolah Lyra minta, kamu kenapa gak bilang Ibu kalau SPP sekolah Lyra belum dibayar?"
"Ibu—" Sahara terkejut, ia baru saja akan mengajukan protes.
Jujur Sahara lupa kalau ia harus membayar SPP Lyra karena beberapa bulan ini ia disibukan dengan berbagai macam pekerjaan juga Lyra yang bulan lalu bahkan sempat dirawat di rumah sakit karena demam berdarah. Tanpa sadar urusan sekolah anaknya itu jadi tersingkirkan.
Namun kalau harus membayar dalam Minggu ini Sahara pun masih belum mampu karena uang tersebut serta tabungannya sudah habis karena ia gunakan untuk membayar biaya perawatan Lyra selama di rumah sakit.
"Jangan protes!" sela Sintia lebih dulu yang tak mau dibantah.
"Tapi Lyra itu tanggungjawab aku, Bu."
"Tapi Lyra juga cucu Ibu. Kok Ibu gak boleh bantu cucu Ibu sendiri?" Sintia tidak terima dengan pemikiran anaknya. Sahara selalu seperti itu, merasa merepotkan. Padahal mereka adalah keluarga. "Kamu kalau kesulitan itu bilang sama Ibu."
"Ibu pasti bayar pakai uang tabungan hasil jahit, kan?" duga Sahara tepat sasaran.
"Ibu gak apa-apa."
"Itu yang Sahara gak mau," Sahara menolak keras. "Itu uang Ibu, untuk Ibu. Gimana pun caranya, secepatnya Sahara ganti, Bu."
Sahara menyekolahkan Lyra di salah satu sekolah yang cukup bagus di Jakarta. Dan tentu saja harga yang ditawarkan tidaklah murah, selalu ada kualitas dari setiap harga yang ditawarkan. Alasan Sahara menyekolahkan Lyra di tempat itu adalah agar Lyra memiliki pendidikan terbaik dan tidak direndahkan di masa depan nanti.
"Aku ini Ibumu, Sahara. Bukan orang lain."
"Bu— pokoknya itu uang Ibu. Aku janji akan segera balikin uang Ibu," Sahara tak mau tahu.
"Yaudah, kamu bersih-bersih sana," Sintia tidak terlalu mendengarkan ucapan anaknya.
Sahara menurut, ia lalu bergegas masuk ke dalam kamarnya. Malam ini, Sahara tidak jadi bilang pada Ibunya bahwa ia berencana untuk resign. Tidak, Sahara tidak bisa melakukan itu. Setidaknya dalam waktu dekat. Apalagi ia harus segera mengganti uang ibunya. Sahara jadi berpikir ulang bahwa ia tidak boleh egois, hanya karena Edgar ia mengacaukan segalanya.
Ketika sampai di dalam kamar, Sahara menutup pintu. Ia segera menuju kamar mandi setelah menyiapkan pakaian untuk tidur dan memberi kecupan di dahi Lyra. Di bawah guyuran shower kepalanya dibuat berpikir. Besok ia harus menemui Edgar, hanya itu satu-satunya cara untuk tetap mempertahankan pekerjaannya saat ini.
Tidak ada cara lain, ia harus mengalah dan berlapang dada sekarang hingga nanti benar-benar bisa berhenti bekerja di bawah naungan laki-laki yang pernah mengisi hatinya itu.
"Maaf, Mas. Mungkin setelah ini kamu akan kesulitan lagi karena aku," Sahara mendongakkan kepalanya, membiarkan air yang jatuh dengan leluasa menimpa wajahnya. "Tapi kamu tenang aja, bukan hanya kamu. Aku juga."
———————————————
Gimana kalau Sahara ketemu Edgar ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
IMBROGLIO : Ketika Takdir Bermuara
Romance[ Dunia lebih menghargai orang yang mau berusaha dengan usahanya sendiri] -Sudutmataa- *Buat dibaca GRATIS bukan dicopoy! JANGAN LUPA FOLLOW DULU YA! Sahara mencintai Edgar dan begitu pun sebaliknya. Hubungan keduanya bahkan hampir diresmikan secara...