Halo semua🙌🏻 I'm back with a new universe ✨ So sebelum baca jangan lupa vote, comment, dan follow akun Instagram sudutmataa ya ;) Enjoy kawans :)
Selamat membaca 🙌🏻
-*-
Sejak tadi Sahara mengamati sekitarnya dengan penuh tanda tanya karena suasana kantornya terasa berbeda dari biasanya. Sejak di lobi orang-orang di kantornya terlihat sibuk, entah dengan pekerjaannya atau karena suatu hal yang tidak Sahara ketahui.
Ketika sampai di mejanya, Sahara mendekatkan kursinya pada meja Gita, sahabat sekaligus rekan kerjanya di kantor. Perempuan dengan kemeja pink dan celana kulot putih itu hendak bertanya pada Gita mengenai situasi yang sedang menimpa kantor mereka.
"Di lobi ada banyak orang, Git. Ada apa sih?" tanya Sahara. "Orang-orang juga kelihatan sibuk dari tadi."
"Namanya juga kantor, Sahara. Wajar aja ramai," Gita menjawab santai sambil terus menatap layar yang menyala di hadapannya. Tangannya bahkan tidak berhenti mengetik di atas keyboard. "Mungkin juga lagi pada mantapin persiapan."
"Persiapan?" Sahara membeo. Sepertinya ada hal yang tidak ia tahu. "Buat apa? Ada acara apa?"
Jari-jari Gita yang sedang mengetik seketika berhenti, ia mendesah frustasi, matanya lalu teralihkan ke arah Sahara. "Gini nih kalau malas bersosialisasi. Makanya ikut gabung di pantry, ada hal sepenting ini lo jadi gak tahukan."
Sahara menatap Gita jengkel. Bagaimana bisa Gita mengatakan hal tersebut dengan begitu enteng? Seolah keengganannya adalah sebuah kesalahan. Sahara memang berbeda dengan kebanyakan perempuan, ia tidak suka berkumpul dengan orang dalam jumlah yang terlalu banyak, ia tidak suka membicarakan orang lain, apalagi bergosip di pantry seperti yang dikatakan Gita. Sahara adalah spesies perempuan langka.
Jadi wajar saja, jika Sahara tidak tahu banyak perihal apa saja yang terjadi di kantor di luar pekerjaan yang diberikan. Bukan tanpa sebab Sahara bersikap seperti itu. Sahara tidak suka dibicarakan oleh orang lain, jadi sebisa mungkin Sahara menghindari hal yang tidak disukainya.
"Gak ada hubungannya, lo sendiri tahu gue gak suka gosip. Gak baik!" kilah Sahara membela diri.
"Aduh Sahara! Hidup lo tuh ya jangan lempeng-lempeng banget, jangan lurus-lurus banget. Dari awal masuk kantor sampai sekarang gak berubah. Memangnya orang-orang London pada gak suka gosip?" Gita menyenggol latar pendidikan Sahara yang pernah mendapat beasiswa di London.
"Ocehan lo gak menjawab pertanyaan gue," Sahara berkata dengan nada dingin seketika. la memilih kembali ke meja kerjanya dari pada harus menanggapi ocehan Gita yang hanya membuat kepalanya sakit di pagi hari.
"Ngambekan lo," ledek Gita yang kini mendorong kursinya mendekat ke meja kerja Sahara. "CEO kita ganti."
Tangan Sahara yang sedang membereskan berkas-berkas penting seketika terhenti. Matanya langsung mengarah pada Gita. Berita ini cukup penting baginya, lantas bagaimana bisa Sahara melewatkan hal ini? Bagaimana bisa ia tidak tahu akan berganti bekerja dengan orang lain?
"Maksudnya?" Sahara ingin memperjelas.
"Perusahaan ini diakusisi sama perusahaan lain, perusahaan yang lebih besar. Lo tahu HR Company, kan? Salah satu perusahaan besar di negara kita? Ya, mereka yang akusisi. Otomatis pemilik perusahaan ganti dan katanya CEO baru kita akan megang kendali dua perusahaan sekaligus. Cuma sekarang akan lebih fokus dulu ke sini buat menyetabilisasi keuangan dan segala macamnya. Itu sih yang gue denger."
Bagai disambar petir di siang bolong, hati Sahara serasa mencelos ke bawah ketika nama HR Company keluar dari mulut Gita. Bagaimana bisa takdir mempermainkannya seperti ini? Bagaimana bisa usahanya sejauh ini menjadi sia-sia?
"Lo tahu dari mana?" tanya Sahara masih tak mau percaya. Sahara berharap ini hanya mimpi dan ia ingin segera bangun dari mimpi buruk ini.
"Awalnya gue gak tahu perusahaan mana karena anak-anak juga gak ada yang tahu. Pak Arfin seolah tertutup banget tentang siapa yang akusisi perusahaan yang dibangunnya dari nol, entah karena takut sahamnya anjlok atau gimana. Tapi gue dapat info tadi pas baru datang dari Aga bagian HRD. Biasanya kalau info dari dia itu akurat banget, Hara."
-*-
Pada akhirnya Sahara izin pulang lebih dulu, lebih tepatnya membolos dengan izin. Ia masih tidak siap jika harus bertemu dengan pimpinan barunya. Padahal tadi setengah jam sudah ia habiskan untuk mendekam di dalam toilet untuk mempersiapkan diri. Namun mengingat akan bertemu dengan pimpinannya di kondisi yang seperti ini menurut Sahara bukanlah kombinasi yang baik, apalagi mereka berdua memiliki masa lalu yang buruk.
Selama satu setengah tahun bekerja, Sahara hampir tidak pernah absen atau bahkan izin selain karena ada urusan penting. Hal itu pun dapat dihitung dengan jari. Namun hari ini, dengan kebohongannya untuk menghindari pimpinannya, Sahara terpaksa berbohong. Ia terpaksa izin sakit padahal tidak sakit. Ia hanya belum siap bertemu dengan Edgar. Edgar Kadhiraharjo. Seseorang yang dulu begitu penting baginya, yang sekarang menjabat sebagai pimpinannya.
Katakanlah Sahara pengecut. Ya, tak apa, memang begitu adanya. Ia masih belum berani menghadapi konsekuensi dari masalah yang ia buat. Tapi sungguh, semesta harus tahu bertemu dengan Edgar kini adalah hal terberat di dalam hidup Sahara meski dulu laki-laki itu pernah menjadi penghias paling indah di dalam hari-harinya.
"Mama!" teriak Lyra kegirangan ketika baru saja keluar dari kelasnya. Sontak wajah muram Sahara otomatis berubah menjadi ceria. Ia lalu merentangkan tangannya lebar-lebar agar Lyra lebih leluasa menggapai raganya. "Mama hali ini jemput Lyla? Mama udah gak sibuk lagi?"
Bocah empat tahun yang belum bisa mengucapkan huruf R dengan baik itu bertanya dengan lugu. Sahara memeluk anaknya dengan erat, menyalurkan kehangatan pada anaknya sambil berusaha melupakan segala keresahan yang melanda. Dan nyatanya, tangan mungil itu berhasil menenangkannya. Lyra adalah pelarian yang Sahara pilih.
"Iya, hari ini Mama jemput Lyra."
"Eyang gak ikut, Ma?"
"Eyang lagi istirahat dulu di rumah," Sahara mengulurkan pelukannya perlahan. Menatap anaknya penuh cinta sambil merapihkan rambut Lyra yang berantakan. Anak ini, anaknya, yang semakin beranjak besar sedikit banyak mengingatkan Sahara pada seseorang karena Lyra memiliki kemiripan dengan sosok itu. Sahara tidak bisa memungkiri hal itu. "Kita jalan-jalan hari ini yuk! Mau?"
Mata Lyra seketika berbinar. Sahara bisa melihat itu. "Mau! Kita jalan-jalan ke mana, Ma?"
"Beli ice cream vanila?" tawar Sahara semakin membuat pancaran binar kebahagiaan di mata Lyra semakin nyata.
"Lyla mau beli dua ya, Ma? Boleh, kan?"
"Boleh," Sahara mengizinkan.
Ya, mungkin sejenak melarikan diri bersama Lyra adalah pilihan yang terbaik untuk saat ini, setidaknya untuk hari ini. Entah bagaimana esok, apakah Sahara akan melarikan diri lagi? Ia tidak tahu. Yang jelas, hari ini akan ia habiskan bersama Lyra, anaknya. Bentuk cinta dari tuhan yang menghiasi hari-harinya, serta menguatkannya. Biarkan besok Sahara serahkan pada tuhan dan kerja semesta.
"Lyla mau beli kotak pensil juga boleh, Ma?"
"Boleh, Nak."
—————————————
Cerita ini berputar terus di kepalaku. Tadinya aku mau selesain dulu baru update, but yeah kita buat on going aja ya :)
05.07.24
KAMU SEDANG MEMBACA
IMBROGLIO : Ketika Takdir Bermuara
Romansa[ Dunia lebih menghargai orang yang mau berusaha dengan usahanya sendiri] -Sudutmataa- *Buat dibaca GRATIS bukan dicopoy! JANGAN LUPA FOLLOW DULU YA! Sahara mencintai Edgar dan begitu pun sebaliknya. Hubungan keduanya bahkan hampir diresmikan secara...