04 : Keras Kepala Yang Sama

133 22 1
                                    

Happy Reading 📚

"JADI ... lo ditolak?"

Helaan nafas jengah melambung ketika telinga Aksara mendengar tawa tertahan yang berasal dari Arthur, rekannya. Arthur adalah satu-satunya orang yang bisa untuk Aksara jadikan tempat berbagi cerita. Dibandingkan teman yang ia ajak untuk menemani acara minumnya di bar saat kejadian yang melibatkan Kaula Jingga Adimanta, Aksara justru lebih percaya kepada Arthur sebab rekannya itu tipikal orang yang cenderung santai dalam menanggapi segala macam hal, seperti saat ini contohnya. Alih-alih menyudutkan Aksara, pemuda itu justru melayangkan gurauan kecil yang menjengkelkan bagi Aksara.

Sayangnya Arthur tidak tinggal di satu kota dengan dirinya, pemuda itu lebih banyak menghabiskan waktunya di Kota Surabaya untuk mengurus bisnis. Oleh sebab itu, Aksara baru memiliki niat membagi cerita yang ia alami kepada sang teman.

Ingatan Aksara kontan kembali pada kejadian tiga minggu yang lalu, dimana niat baiknya ditolak mentah-mentah oleh Kaula Jingga Adimanta.

"Niat baik gue yang ditolak." Sanggah pemuda itu.

Arthur mengernyitkan dahi sejenak, "Emang lo niatnya mau tanggung jawab gimana?"

Aksara menimang, "Rencananya mau gue nikahin kalau dia hamil."

Arthur memutar bola matanya malas. "Yaudah, intinya kan sama. Lo ditolak. Udah, terima fakta aja." Kekehnya.

Aksara mendengus, pemuda itu memilih menyesap kopinya daripada meladeni Arthur. Hal tersebut membuat pemuda bernama lengkap Vidrasena Arthur itu kembali bersuara.

"Omong-omong, dia hamil?"

Pertanyaan dari rekannya itu membuat Aksara terdiam. Hal yang sama juga menghantui dirinya dalam tiga minggu terakhir. Apakah saat ini Jingga tengah mengandung anaknya? Bagaimana kabar gadis Adimanta itu?

Aksara mendesah, tersirat rasa frustasi disana. "Gue ngga tau. Dia sama sekali ngga sudi ketemu gue setelah hari itu. Walaupun gue udah maksa dia untuk buat kesepakatan, tetap aja sampai sekarang ngga ada kabar."

Arthur kembali mengernyit, "Huh? Kesepakatan apa?"

"Kalau dia hamil, dia wajib untuk ngabarin gue."

Arthur mengangguk, "Berarti ngga jadi dong? Kurang joss goyangan lo."

Aksara mendelik mendengarnya, entah mengapa ada perasaan kesal yang terselip. Bukan karena ucapan lumayan vulgar yang dilayangkan oleh Arthur, untuk yang satu itu Aksara sudah kelewat kebal sebab otak rekannya itu memang sudah rusak. Namun, apakah ia kesal karena praduga Arthur bahwa Jingga tidak hamil? Tapi kalaupun iya, kenapa dirinya harus kesal?

"Tapi bukannya lo gempur dia sampai pingsan ya? Kok masih ngga jadi sih, padahal lo udah sebrutal itu." Lagi, Arthur berceloteh dengan kosa kata vulgarnya.

Aksara berdecak, "Bisa aja dia sebenernya hamil tapi sengaja ngga ngabarin ke gue. Bisa aja dia mau bawa kabur anak gue." Sungut pemuda itu menyuarakan pemikiran liarnya.

"Ngga terima banget kecebong lo gue bilang kurang joss." Arthur terkekeh, "Kalau lo emang takut begitu, kenapa ngga lo coba hubungi aja dia? Effort dikit dong."

Aksara bergeming. Dia sangat ingin melakukan hal itu, tapi pemuda itu memilih untuk mengulur waktu hingga satu bulan penuh—sengaja menunggu kabar dari Jingga. Aksara masih ingat bagaimana sepasang mata jernih seorang Kaula Jingga Adimanta menatapnya dengan rendah, pemuda itu sadar betul akan aura kebencian yang dilayangkan padanya. Meski egonya tersinggung, tapi Aksara cukup tahu diri. Disini, dirinya lah yang bersalah, untuk itu Aksara tidak ingin memperkeruh semuanya.

Aksara Suara JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang