14

54 5 0
                                    

Lagi dan lagi, semua masalah berdatangan tanpa jeda. Yolan sudah pusing memikirkan keadaan Kairi yang masih tetap sama saja tidak ada perkembangan, ditambah masalah kehadiran putranya yang lain secara tiba-tiba membuat dia bingung sendiri harus mengekspresikan perasaan ini seperti apa.

Raisya anak itu masih mendiaminya sampai sekarang, mungkin agak kecewa dia tidak menatapnya sejak pagi. Semakin rumit pula masalah di hadapi nya.

"Woy! Jangan bengong disitu, ntar kesambet!" Yolan tahu siapa pemilik suara itu dia hanya diam membiarkan tanpa mau menyaut.

"Kenapa lagi? Galau amat keliatannya," tanya nya penasaran temannya bisa sesedih ini wajahnya, biasanya dia akan menjulid ketika dia datang, kok sekarang berbeda.

"Taulah masalah anak gua, masih belum ada perkembangan apapun. Udah beberapa koma, segala cara udah dilakuin ternyata masih sama." lirih Yolan

"Han, gua harus apa? Semua udah gua lakuin, apa gua donorin jantung gua buat dia supaya dia ngga kesakitan lagi. Jujur gua beneran ngga tega lihat dia terus ke siksa sama penyakit itu,"

Seihan bersama Lyan tidak mampu menjawab kedua terdiam. Pikiran sudah bercabang semakin dipikirkan semakin membuat kepala nya pusing, Yolan terlihat sudah sangat lelah oleh keadaan.

"Lo pikir dengan lo donorin jantung nya dia bakal bahagia? Bakal terima? Coba dipikir lagi,"

"Kalau lo donorin berarti lo bakal mati. Dan dia bakal semakin menderita kalau ngga ada lo disamping dia,"

Seihan merangkul pundak Yolan sesekali menepuk pundak lebar itu. "Lan, ngga ada lo disamping si kembar mereka bakal semakin menderita. Semua masalah ngga akan selesai dengan cara itu, cuma lo. Dan hanya lo yang mereka punya?"

"Ibu mereka sudah ngga peduli, kalau lo pergi? Lo yakin mereka bakal bahagia, ngga!" Ucapan Seihan tidak ada salahnya. Memang benar hanya dia yang kedua anak punya, mereka sudah tidak punya siapapun.

Ghania kehadiran wanita itu tidak bisa diharapkan, mau bertemu saja tidak apalagi sampai harus mengurus mereka. Yolan tidak bisa membayangkan ketika dia pergi, Kairi dan Raisya akan sehancur apa nanti.

"Kita pikirin lagi pakai cari lain. Lo harus tetap ada bersama mereka, cuma lo semangat mereka." Lyan tahu ditinggal seseorang yang kita sayangi adalah suatu hal menyakitkan yang tidak akan ada obatnya. Bahkan kata-kata semangat saja tidak ada guna, semua luka itu akan membekas menjadi rasa takut dan trauma. Raisya dan Kairi masih terlalu kecil untuk merasakan sakit kembali, sudah cukup mereka berdua kehilangan peran seorang ibu.

Jangan sampai mereka kehilangan peran ayah juga, Lyan membayangkan saja sudah ingin menangis. Bagaimana mereka yang merasakan? Sudah sejauh apa luka itu, sampai mana lukanya terhenti. Lyan tidak tahu, semua bisa dirasakan oleh mereka sendiri.

========

Duduk di dekat pohon rindang menatap tanah basah yang ia pijak, suasana hatinya sedang kacau, sekali lagi kenyataan itu membuat dia seperti ini. Raisya masih belum bisa terima, dia marah pada mereka, dia kecewa.

Kepala terus menunduk seiring menyeka air matanya. Dia menggigit bibir bawah hingga berdarah, mengepalkan tangan hingga buku-bukunya memutih.

"Sya?" suara berat seseorang membuat dia mendongak dengan sisa air mata sudah hampir mengering.

"Harsa," panggil Raisya lirih.

"Kenapa disini sendirian? Ngga baik takut ada seseorang berniat jahat gimana. Terus kok nangis, ada masalah?" Harsaya kembaran Jevan adalah sepupu Raisya yang sudah beberapa tahun tinggal bersama neneknya di kampung. Baru kali ini Raisya melihat nya lagi, mungkin dia sedang berlibur untuk bertemu keluarga nya setelah sekian lama berdiam di kampung.

I Want You To Be Happy [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang