Suara gemuruh sebuah sepeda motor memecah lamunan Saina. Perempuan itu mengalihkan tatapannya ke arah pagar di mana terlihat Saka sedang mengendarai motor, masuk ke pekarangan rumah mereka. Senyum cerah perlahan Saina perlihatkan saat Saka membuka helm dan berjalan ke arahnya.
Namun, pemandangan kusut pada muka Saka yang tidak bisa disembunyikan membuat Saina cukup terganggu. "Kamu lelah?" Mencoba bertanya seraya mengelus kedua lengan sang suami yang menatapnya sayu.
"Cukup lelah... Rasanya aku mau cepat-cepat istirahat meluk kamu di bawah selimut," ucapnya pelan seraya memeluk pinggang sang istri.
Saina terkekeh pelan dengan tangan yang turut memukul lengan Saka tak kalah pelan pula. "Masuk, yuk. Aku udah masak. Oh iya, kok belanjaan kamu dikit banget? Gak jadi buka warung besok?"
Saka menggandeng tangan Saina, membawa sang istri masuk ke dalam sesekali ia melirik perut Saina yang terlihat sedikit menonjol karena baju yang wanita itu kenakan memeluk tubuhnya dengan sempurna. "Jadi tapi kayaknya cuma bentar aja, soalnya bahannya masih dikit. Tadi kebetulan ada cowok yang aku ikutin waktu ngeliat Cecilia jalan sama cowok yang gak asing."
"Sia-- Tunggu, Cecilia?" tanya Saina bingung. Apakah Saka dengan Cecilia saling kenal? Kenapa Saka bisa tahu nama gadis tersebut?
Menyadari ucapannya yang kelepasan berkata mengenai Cecilia, Saka hanya bisa diam, berusaha memikirkan kalimat yang dapat mengalihkan pembicaraan ini. Mencoba menghilangkan keanehan Saka mengangguk yakin. "Iya, kenapa? Kamu kenal sama cewek yang namanya Cecilia itu?" tanyanya balik.
Sekarang giliran Saina yang menggeleng, mencoba menutupi kebenaran. Ia justru berkata, "Aku hanya merasa familier dengan namanya."
Pasangan yang baru mencoba percaya tersebut justru mencoba menutupi kebohongan masing-masing. Kebohongan yang bahkan sama persis, tanpa menyadari meski pahit, kejujuran masih lebih baik dari pada kebohongan.
~o0o~
Pagi-pagi sekali, pasangan suami istri itu telah bangun menyiapkan berbagai wadah untuk meletakkan menu-menu warung yang akan dipajang di etalase sekaligus menu yang akan dinikmati oleh para pelanggan.
Pukul delapan pagi, warung sudah buka dan sesekali ada orang yang datang untuk sekedar memesan makanan untuk dibungkus atau dimakan di tempat. Seperti rencana awal, mereka akan membuka warung hingga tengah hari saja karena nanti pukul dua sore mereka harus pergi ke pusat perbelanjaan.
Sebenarnya Saka telah menolak Saina untuk ikut tetapi wanita itu tetap keukeh dengan keinginannya. Hingga akhirnya, mau tak mau Saka mengajak Saina bersamanya.
Dan di sinilah mereka sekarang. Sebuah pasar tradisional yang berdampingan dengan mall. Terlihat sangat kontras sekali perbedaan pengunjung dari mall dan pasar tradisional. Mulai dari pakaian, hingga sifat mereka terlihat bagaikan langit dan bumi.
Jika pengunjung mall lebih mencolok dengan pakaiannya yang terlihat mewah dan mahal serta sifat yang sombong, maka pengunjung pasar terlihat jauh lebih sederhana, bahkan ada yang hanya menggunakan kaos lusuh. Begitupun sikap mereka yang berbanding terbalik dari busana yang mereka kenakan. Mereka ramah dan saling bercanda antara satu dengan yang lainnya.
"Ini sekilo berapa, bu?" tanya Saina pada seorang penjual ikan.
"Tiga puluh lima ribu aja," jawab si penjual dengan semangat.
"Mahal banget..." lirih Saina tetapi masih bisa di dengar oleh si penjual serta Saka yang sedari tadi mengamati interaksi sang istri. "Dua puluh ribu deh, bu. Gimana?" lanjutnya mencoba menawar.
Sikap mandiri yang mau tak mau ia jalani saat Saka masuk ke rumah sakit jiwa kala itu, membuat Saina terbiasa berbaur dengan ibu-ibu di pasar serta melakukan tawar menawar layaknya ibu-ibu pada umumnya.
"Wah, Gak bisa, Dek. Ini udah murah banget loh," sahut si penjual.
Saina masih menampilkan raut keberatan yang serupa. "Tapi..."
"Ini, Bu. Saya beli ikannya sekilo," ujar Saka memotong perkataan Saina seraya memberikan selembar uang dengan nominal lima puluh ribu rupiah.
Dengan cekatan ibu penjual tersebut membungkus pesanan Saka kemudian menyerahkannya pada pria tersebut. "Ini, Mas."
"Kembaliannya ambil aja," ujar Saka setelah sekilo ikan sudah di tangannya. Setelah menerima ikan tersebut Saka menatap Saina dengan tatapan yang cukup tajam.
"Jangan kebiasaan nawar begitu," ujar Saka membuat Saina mengerutkan dahi.
"Kenapa?"
Saka menghembuskan napas lelah. "Karena bisa jadi barang yang kamu beli itu jadi bahan hasil curian."
"Kok bisa?"
"Bisa, kan kamu nawar dalam nominal yang cukup drastis, lalu apakah penjualnya setuju? Masih bagus kalau penjualnya bilang tidak setuju, dari pada mengatakan setuju tetapi dalam hatinya tidak. Jika dia tidak setuju dengan tawar menawar yang kamu lakukan, bisa jadi makanan yang dibeli jadi haram. Jadi jangan kebiasaan nawar begitu lagi!"
Saina menundukkan kepala, merenungi ucapan yang terlontar dari bibir suaminya. Seketika Saina menyadari kesalahannya. Ia menunduk dalam seraya meminta maaf.
Saka menghembuskan napas pelan, ia langsung memeluk tubuh Saina dengan erat seraya mengecup pucuk kepala gadis itu secara bertubi-tubi, tak peduli dengan ramainya pasar. "Gak pa-pa jangan diulangi lagi. Nawar boleh, tapi penjualnya harus ikhlas dengan harga yang ditawarkan. Saran dari Mas, kamu tanya aja bisa turun apa tidak, kalau semisal penjualnya jawab bisa terus nyebutin nominalnya, nah langsung aja jangan ditawar lagi."
TBC.
Maaf acak-acakkan, aku nulisnya waktu mata udah berat, kalau ada yang ga mengerti tolong ditandai, besok aku revisi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Enervate (Republish)
RomantizmEND --------- Satu hal yang benar-benar Saina sesali hingga akhir hayatnya adalah menyia-nyiakan sang suami yang mencintainya hanya karena sebuah kesalahan berpikir. --------------------------------------- Insiden cinta satu malam yang merenggut kes...