AMBISI

135 90 22
                                    

•••••

Hari-hari berlalu, saat matahari silih berganti dengan bulan, cuaca yang tak menentu juga ikut mendampingi bumi di lingkaran porosnya. Asa terus berjalan, tak perduli apa yang terjadi pada manusia di kala hari-hari yang membosankan. Begitu juga dengan sekolah SMA Prabu Lima yang terus berjalan sebagaimana semestinya.

Kasus penemuan mayat di gudang itu kini terbengkalai, tidak ada kelanjutan dari pihak kepolisian, tidak ada titik terang dari kasus mengerikan itu, seolah jalannya buntu tak tau di mana pintasnya. Kepala sekolah uring-uringan, belum tenang jika pelakunya belum di temukan.

CCTV, harapan satu-satunya mereka tidak bisa di pulihkan, semua file hilang dan di hapus secara permanent dari data sekolah mereka. Pelaku masih berkeliaran di luar sana mengintai mangsa selanjutnya, anak-anak pintar dan berprestasi menjadi terancam karena asumsi dari beberapa orang bahwa pelaku hanya mengincar anak-anak pintar saja.

“Bagaiman ini Pak? Kita harus segera mencari solusinya, jika masih bergantung pada pihak kepolisian saya yakin kasus ini tidak akan selesai sampai kapanpun, pihak keluarga korban sudah mendesak untuk segera menemukan pelaku dan menghukumnya Pak.”

Di ruang kepala sekolah yang cahayanya terlihat remang-remang, kepala sekolah, Drs. Bastian Agrata duduk termenung dengan keadaan yang tak baik di kursinya. Di depannya ada wakil kepala sekolah juga penjaga sekolah ini yang telah bekerja puluhan tahun lamanya terlihat khawatir dan meminta pendapat darinya untuk kelangsungan kasus ini.

“Saya takut kejadian ini kembali terulang Pak.” Ucapnya, Julio Sihotang, wakil kepala sekolah lagi.

“Saya sebagai security juga merasa kecewa dengan diri saya sendiri, saya mengakui saya tidak becus dalam menjaga keamanan sekolah ini, jadi Pak tolong cari cara lain, kita bisa berusaha sendiri selagi pihak kepolisian masih melakukan penyelidikan.”

Lebih dari sebulan sudah semenjak hari mengerikan itu terjadi, tidak hanya para guru saja yang merasa was-was, tapi para murid juga merasa begitu, ada kalanya mereka enggan untuk bermain di lapangan sekolah ketika waktu pulang di sore hari tiba, tidak seperti dulu yang begitu ramai dan riuh, sekolah itu kini menjadi sepi tapi tidak mati. Hanya hawanya yang berbeda, dengan aura hitam yang mendominasi.

Kepala sekolah menghela nafas sebelum menyampaikan apa yang ada di pikirannya yang semenjak seminggu yang lalu ia pikirkan dengan baik-baik dan penuh pertimbangan.

“Sebenarnya, ada satu ide yang membuat saya kepikiran sedari dulu, tapi ini beresiko tinggi, bagi nyawa anak-anak maupun kehormatan sekolah ini.”

Mata pemimpin dari Prabu Lima itu berkilat tajam dalam cahaya yang menelisik masuk dari tirai jendela. Ada ambisi besar di sana, bapak Julio dan Security Herman dapat melihatnya.

“Kemari, biar saya ceritakan jalannya.”

•••••

“Woi Bom-bom, tungguin!”

Gadis dengan kerudung pasmina putih itu menoleh saat melihat Puan dan Pitaloka berlari menghampirinya dari tengah lapangan, kedua gadis dengan Jersey basket bewarna hitam itu terengah saat sudah sampai di hadapannya, keringat mengalir membasahi kedua sisi kening gadis-gadis yang terkenal di sekolahnya.

Siang itu matahari sangat terik menyengat, sekolah sedang jam istirahat kedua, beberapa siswa terlihat menikmati waktu istirahatnya di bawah pohon dekat taman, atau di kursi panjang yang tersedia di koridor, beberapa dari mereka ada yang menikmati makan siang di gazebo sembari menikmati semilir angin yang berhembus pelan menerbangkan rambut-rambut mereka.

PURBAKALA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang