SANG PUAN YANG LARA

92 40 13
                                        

•••••

Pukul 4 pagi, saat jam terbitnya fajar hampir menjelang, ruangan yang sama dengan yang di tempati oleh Azzura kemarin pagi kini kembali penuh dengan pertengkaran antara Raden Arok Omar dan Ametung Djuna Aryo.

Para anggota Purbakala kebingungan, di tambah Cutzu Melga yang berdiri di sudut ruangan setelah menghubungi Tigor dan Ajisaka, kedua pria itu sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit saat ini.

“Aku sudah mengatakan padamu Arok, jangan lagi mengganggu putriku.” Pria yang menjadi Ayah dari Azzura itu mendesis, di kala melihat Arok musuhnya sedari kecil hanya memandangnya dengan tenang dengan tangan pria itu yang menggenggam tangan putrinya dengan lembut.

Helaan nafas pasrah dari Arok terdengar, mata tajamnya yang di turunkan pada putranya Rakai kini memandang Ametung dengan serius.

“Ametung, mari sudahi ini, aku akan mengambilnya kembali, sudah seharusnya putriku berada di sisiku.”

Urat dari leher Ametung mengeras, timbul menonjol dengan matanya yang kini memerah menahan amarahnya. Ametung bersumpah, jika ini bukan di rumah sakit sudah ia hajar pria angkuh penuh dengan kesombongan itu.

“Dia putrimu, aku mengizinkan kamu menyebutnya seperti itu, tapi seperti yang di ketahui Ametung, di dalam tubuhnya mengalir 99% darahku, rambutnya, matanya, bahkan sifatnya, meski ia seperti ibunya, tidak bisa di pungkiri bahwa sifat keras kepalaku juga diturunkan padanya. Jadi aku mohon, mari kita selesaikan di sini, cukup sampai di sini, aku tidak ingin lagi bermimpi Jeumpa yang terus menangis dengan mengatakan ia akan mengambil Azzura, mengambilnya dariku dan darimu, aku mohon kembalikan dia padaku, aku mohon.”

Ametung tersentak, dalam setengah abad hidupnya, sedari mereka sekolah dasar pada zaman dahulu, belum pernah sekalipun Ametung melihat Arok memohon sedemikian rupa, yang Ametung tau, pria itu tidak akan pernah menundukkan kepalanya pada orang lain selain pada orang tuanya dan pada istrinya, Jeumpa.

Bahkan, kata maaf tidak akan pernah keluar dari bibir itu meskipun ia yang salah. Arok, pria itu adalah manusia arogan yang tak tau diri yang pernah Ametung jumpai di jagat raya.

Ametung melunak, nafasnya menghela pasrah, sudah sangat lelah akan kejadian hari ini, dalam sehari putrinya bisa masuk dalam ruangan rawat inap yang sama dengan keadaan yang sama pula. Benar-benar membuatnya khawatir.

“Maaf Arok, aku tidak akan melepaskannya, kamu dan putramu sendiri yang meninggalkannya, tidak menginginkannya saat dunia kalian terpuruk. Aku membayangkan bagaimana anak umur 7 tahun berjalan ribuan mil untuk pulang, datang padaku dan memohon apakah aku bersedia menampungnya. Dan sekarang kamu dengan tidak tau dirinya memintanya kembali, apa kamu waras Arok? Aku yakin, jikapun aku mengizinkannya belum tentu ia mau kembali bersamamu.”

Ruangan itu hening, saat Ametung bicara panjang lebar mengungkap kesakitan yang di alami oleh gadis yang sedang terbaring di brankar nya itu. Wajah pucat itu terlihat tenang, entah apa yang gadis itu impikan dalam tidurnya.

Pun, begitu berbeda dengan anggota Purbakala yang terlihat syok, sedikit banyak mereka tau kemana arah pembicaraan ini, tidak di sangka, ternyata gadis yang di gosipkan dekat dengan Rakai dan di duga mempunyai hubungan asmara, ternyata adalah saudara seibu dan seayah.

Sebenarnya apa yang terjadi sehingga Rakai dan Azzura berpisah? Lalu, kenapa selama ini Rakai bersikap seperti tidak mengenal Azzura padahal mereka satu sekolah?

PURBAKALA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang