MEMULAI

135 94 23
                                    

Panas terik kian menyengat, saat detik-detik pengibaran sang saka merah putih Indonesia di antarkan ke tiang tertinggi dan berkibar dengan sombong di atas sana, wujud dari makna merah darahku dan putih tulangku, hasil dari para pejuang zaman dahul...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Panas terik kian menyengat, saat detik-detik pengibaran sang saka merah putih Indonesia di antarkan ke tiang tertinggi dan berkibar dengan sombong di atas sana, wujud dari makna merah darahku dan putih tulangku, hasil dari para pejuang zaman dahulu yang berjuang mati-matian untuk mempertahankan tanah air tercinta.

Hari ini, kelas 12 dari kelompok ilmu alam dari kelas Rakai menjadi petugasnya, normalnya seperti sekolah lain yang pada umumnya selalu gladi atau latihan upacara di hari Sabtu untuk perbekalan di hari Senin, sekolah internasional ini pun juga begitu, agar tidak ada kesalahan yang mengakibatkan sang wali kelas malu.

Minggu ini, seperti hari Senin di minggu-minggu sebelumnya saat kelas mereka yang menjadi petugas, Rakai kembali menjadi pemimpin upacara hingga orang-orang terkagum-kagum dibuatnya. Ada rasa bangga di hatinya saat semua mata hanya tertuju satu pada ia yang berdiri mencolok di tengah upacara.

Ini menit-menit terakhir sebelum upacara hari ini selesai, Rakai berdiri tegak membelakangi pembina dan menatap lurus sejajar pada barisan para siswa dan siswi di depannya, di karenakan penghormatan terakhir dalam upacara ini akan di berikan pada sang pemimpin oleh petugas.

“Pengghormatan umum kepada pemimpin upacara di pimpin oleh ketua kelas paling kanan.”

Instruksi dari petugas pembawa acara terdengar di mic speaker yang volumenya di besarkan, hingga ketua kelas dari barisan kanan menarik nafas, menegakkan bahu dan dengan lantangnya bersuara di tengah angin kecil yang berhembus sebagai penyejuk di hari yang panas.

"KEPADA, PEMIMPIN UPACARA HORMAT GRAK!”

Rakai, sang pemimpin melihat ke kanan dan ke kiri, netranya berputar dari satu sisi ke sisi yang lain, tajamnya manik itu dalam memeriksa para peserta tak sengaja berhenti pada manik yang bewarna sama seperti miliknya, wajahnya pucat, sangat terlihat kontras dengan pasmina sifon putihnya. Mata itu sayu, tubuhnya tampak lemas tak bertenaga, ada getaran di tangan kecil nan rapuh itu saat mempertahankan penghormatan kepadanya.

Rakai menurunkan tangan, dan instruksi tegak grak terdengar dari sang petugas.

BRUK!

Selaras dengan itu, tumbangnya Azzura di barisannya membuat upacara ini tidak selesai dengan sempurna.

Dia Rakai, sang pemimpin upacara, meninggalkan posisi dan berlari menerobos kerumunan di mana beberapa guru menghampiri salah satu muridnya yang hilang kesadaran. Di tengah itu, ada Rakai yang jantungnya berpacu saat melihat darah yang mengalir deras dari mulut gadis itu. Pada hari ini semua orang tau, saat melihat bagaimana Rakai begitu panik menggendong Azzura ke mobil ambulance pribadi milik sekolah, ada aura yang tidak enak terpancar dari berbagai arah.

PURBAKALA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang