MALAPATI HALAYUDHA

129 86 17
                                    

Anak dari seorang bajingan belum tentu sepenuhnya bajingan

Di kala itu pagi menyising, dengan matahari yang bersinar cerah di langit angkasa yang berawan, warna kuning sisa dari sang fajar masih tersisa di ufuk timur, memperlihatkan burung-burung kecil yang terbang berkelompok mencari makanan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di kala itu pagi menyising, dengan matahari yang bersinar cerah di langit angkasa yang berawan, warna kuning sisa dari sang fajar masih tersisa di ufuk timur, memperlihatkan burung-burung kecil yang terbang berkelompok mencari makanan.

Air hujan masih tersisa di antara daun-daun lebat yang terlihat berantakan, sisa batang ranting yang patah berserakan di tanah akibat angin yang menghantamnya malam tadi.

Di antara lubang-lubang di jalan rusak, kubangan air tampak kotor, berbeda di jalan aspal yang mulus dengan air yang terlihat bening. Air itu tenang tak beriak, makhluk-makhluk kecil yang mengambang di atasnya diam seolah mati, sebelum sebuah roda motor dengan kecepatan tinggi benar-benar menghancurkan dunianya.

Splas!

Roda motor custom itu berbelok dengan kecepatan tinggi, jalan yang masih sepi membuat sang pemilik sedikit bermain mengasah hobinya yang tertinggal di belakang jauh di nomor ke sekian dalam daftar hidupnya.

Seragamnya acak-acakan seperti berandalan, dasi yang tak terpasang dengan anting telinga yang mungkin lupa ia lepas.

Brmm!

Melewati gerbang sekolah yang tinggi, motor customnya ia lajukan dengan pelan, aura sekolah yang sekitar sembilan hari di liburkan dengan mendadak terlihat masih mencekam, dengan hanya beberapa siswa yang duduk tegang di beberapa tempat.

Di parkiran saat itu masih banyak tempat kosong, dia Malapati Halayudha memarkirkan motornya di ujung parkiran dekat tiang penyangga. Mulutnya bergerak seirama saat otak mengirim sinyal untuk saraf gigi agar bergerak menghancurkan permen mint di mulutnya itu.

Jari yang panjang dengan tampilan tampan itu naik, mengelus telinganya dan dengan sekejap melepaskan anting hitamnya dengan mudah.

Srek srek!

Juga, dasi yang sedari tadi hanya tergantung kini menjadi rapi dengan kerja keras tangan lentiknya yang berurat. Bahu lebarnya ia naikkan agar almamaternya terpasang pas di badan.

“Iya Ayah iya, nanti juga aku beli, udah tenang aja aku masuk ke kelas dulu oke, see you, sayang Ayah!”

Menoleh pada seorang pria yang seumuran dengannya, Pati Yudha tersenyum mengejek, pria yang baru saja lewat di depannya itu adalah anak manja berkedok nama garang.

Tigor Timothee Nainggolan, namanya terdengar garang dan sangar, namun bagi Yudha, pria dari kelompok ilmu alam yang menantangnya di atas karpet biru arena karate itu hanya si manja yang ingin menjadi berani dengan menantang sang 'nama merah' yang tertulis di buku BK di sekolah kaku itu. Siapa pemilik 'nama merah' itu? Tentu saja, Pati Yudha jawabannya.

PURBAKALA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang