INSIDEN YUDHA & ZICO

72 4 5
                                    

•••••

Kantin, pada jam 11 siang memang begitu ramai dengan sang pengunjung yang kelaparan setelah berperang dengan beberapa mata pelajaran yang berbeda. Hari masih panjang, saat Rakai mendongak menatap matahari dari sisi jendela, ia selalu menatap pintu kantin yang terbuka lebar di mana siswa dan siswi keluar masuk di dalamnya, berharap orang yang di tunggunya muncul di depan sana.

Hari itu Rakai hanya bersama dengan Dewa di kantin. Puan sedang di boyong oleh anak-anak prakarya yang sedang melakukan fashion show dadakan dengan Puan yang sebagai modelnya. Bisa Rakai lihat dari sini bagaimana gadis tomboy itu yang berjalan berlenggak-lenggok di tengah lapangan dengan bak model profesional.

Sedangkan Yudha dan Pitaloka sedang menjalani hukuman untuk membersihkan toilet para guru karena terlambat masuk kelas tadi pagi. Melepaskan Almamaternya yang terasa sesak, pria bermata coklat tajam itu melirik pendingin ruangan, sangat di sayangkan ke enam pendingin yang tergantung di setiap sudut itu seperti tidak berfungsi saat seluruh siswa saling berbagi nafas di dalam ruangan itu.

“Gue masih bingung, kenapa lo dan Bom-bom gak saling tegur di acara MOS dulu, padahal kalian sama-sama menyadari siapa kalian sebenarnya. Dan yang lebih gue herannya lagi, lo menyembunyikan pertemuan lo dengan Bom-bom dari om Arok, seolah-olah gak ingin bokap lo tau tentang keberadaannya.”

Hari itu Dewa mengungkap bagaimana rasa hatinya yang begitu tak nyaman dengan masalah persaudaraan ke dua kakak beradik itu, padahal yang selama ini selalu Rakai ceritakan adalah adiknya telah tiada bersamaan dengan ibunya saat persalinan wanita itu.

Rakai meletakkan sendok makannya di atas meja, dengan matanya yang masih saja melirik pada pintu masuk yang kini terasa lapang.

“Gue malu.” Jawabnya dengan kini memandang Dewa.

“Hari itu sumpah demi tuhan, Dewa. Gue pengen banget lari ke dia dan bawa dia pulang ke rumah kita, pengen banget gue tanya apa dia baik-baik aja? Pengen banget gue peluk saat pertama kali gue tau dia masih hidup.”

Rakai menggeleng, dengan matanya yang kian menyendu, dan Dewa dapat merasakan rasa sedih yang menguar dari aura kuat sahabatnya itu.

“Tapi gengsi gue mengalahkan semuanya. Gue malu sama sikap gue selama ini, padahal di hari itu gue pengen banget tanya sama dia gimana dia bisa selamat dari insiden tanah longsor di desa pendalaman beberapa tahun yang lalu, sampai-sampai bokap gue hampir masuk rumah sakit jiwa di masa itu.” Rakai kembali bersuara, mungkin kali ini ia mempercayai Dewa untuk mendengarkan semua kegundahan hatinya.

“Dan tentang kenapa gue menyembunyikan keberadaannya dari bokap gue, itu karena gue gak mau membuka luka lama bagi keluarga kita lagi. Lo tau sendiri bokap gue orang dominan yang keras kepala.”

“Ya, sama kek kalian berdua, sama-sama keras kepala dan gak ingin kalah,” sela Dewa cepat seraya meminum kopi dinginnya.

“Gue gak pernah mengabaikan Bom-bom Dewa, gue selalu memperhatikan adik gue, tapi bodohnya gue gak mau tau entah dengan siapa ia hidup, hingga bokap gue yang datang mencari tahu informasi tentang sekolah kita. Dan seperti yang lo lihat, Arok sialan itu mau mengambilnya kembali setelah adik gue di buang beberapa tahun silam.”

Nasi goreng pesanan mereka sudah dingin, saat Rakai mengujarkan sedikit kebencian pada Ayahnya. Ia tahu Arok adalah orang yang bermartabat dan menjaga gengsi di kalangan para sejarawan lainnya. Namun, bagi Rakai sifat itu hanya untuk menutupi betapa angkuh dan jahatnya Arok selama ini.

PURBAKALA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang