Sesampainya Jeya di kerajaan Verta, gadis itu tidak henti-hentinya bergumam didalam hati. Matanya berbinar ketika melihat betapa indahnya kota itu.
Pohon hijau, pink, dan merah bersatu hingga memberikan warna disana, daun berwarna merah berjatuhan ketanah dan diiringi daun pohon berwarna pink.
Kerajaan Verta sangat mementingkan kebersihan, namun mereka tidak pernah membakar daun-daun yang berada ditanah.
Menurut mereka daun dan pohon adalah sumber kehidupan, dan harus dijaga dengan baik.
Rakyat Verta yang menyaksikan kereta kuda milik keluarga kerajaan berjalan memasuki ibu kota sedikit gaduh.
Jarang sekali mereka bisa melihat keluarga kerajaan berkeliaran, bahkan sampai keluar ibu kota.
"Kakak pertama, apakah kakak merasa terganggu?" Balvier bertanya dengan suara keras.
Suara rakyat yang begitu besar menyoraki kereta kuda itu bahkan bisa meredamkan suara keras milik Balvier.
Untuk pertama kalinya dihidup Jeya, dia merasa menjadi seperti presiden di zaman modern, "Mengapa mereka berteriak?" Jeya membuka sedikit jendela kereta kuda, agar Balvier bisa mendengar ucapannya.
Balvier menoleh, "Karena biasanya keluarga kerajaan menggunakan jalan pintas, sekarang kita menggunakan jalan utama, rakyat tidak terbiasa melihat nya, dan menyoraki kita untuk mencari perhatian."
"Bukankah itu putri pertama?!"
"Pangeran!"
Rasanya seperti seorang idola yang bertemu para fansnya, Jeya sedikit menyunggingkan senyum, "Untung aja enggak jadi gembel."
Gadis itu merasa bersyukur karna bisa menjadi Beliver, seorang putri kerajaan yang bergelar putri pertama. Bukan sebagai gembel atau keluarga bangsawan biasa.
"Kakak, bertahanlah sebentar lagi, kita akan segera memasuki gerbang istana." Saat ini Balvier benar-benar merasa khawatir dengan Jeya.
Setahu nya, kakaknya itu tidak menyukai keramaian, apalagi keributan. Kini ketika menghadapi para rakyat yang agresif, dia takut kakaknya merasa tidak nyaman.
"Tidak apa-apa, bisakah kita berhenti sebentar? Aku ingin menyapa rakyat."
"Karna udah terlanjur jadi tuan putri, lebih baik nikmatin aja.." Gadis itu terkikik geli dengan pikirannya sendiri.
"Mengapa rakyat?" Balvier terdiam sebentar.
Sebelum akhirnya dia mengintruksikan para prajurit yang mengikuti mereka dan kusir kuda untuk berhenti disana.
Melihat kereta kuda itu berhenti, para rakyat semakin menyoraki mereka, bahkan sudah ada yang bersujud ketanah.
Jeya keluar dari kereta, matanya memandang kerumunan manusia yang berada disekelilingnya.
"Tuan putri pertama keluar dari kereta kuda!"
"Hormat kepada tuan putri! Semoga tuan putri panjang umur dan bahagia selalu;"
Mendapat ucapan itu, tanpa sadar Jeya meneguk air ludah nya sendiri, "Terimakasih untuk para rakyat yang menyambutku!"
"Gue harus ngomong apa lagi?" Bibirnya meringis kecil ketika menyadari jika dia belum cukup berpengalaman menjadi seorang putri.
Dari samping, seorang anak kecil berjenis kelamin perempuan menghampiri Jeya yang sedang berdiri, anak kecil itu menarik ujung baju Jeya dengan pelan.
"Tuan putri.." Sapaan halus dari bawah mengalihkan perhatian Jeya.
Jeya berjongkok dihadapan anak kecil itu, "Siapa nama mu?" Jeya mengusap wajah anak tersebut yang sedikit kotor.
"Aku Ziana, tuan putri, bisakah Ana meminta sesuatu kepada tuan putri?"
"Kamu ingin meminta apa?"
Percakapan mereka berdua disaksikan para rakyat yang sedang berkerumun disana, semua orang menantikan jawaban anak kecil itu.
"Aku ingin ayahku.."
"Tuan putri, ibu bilang, ayah pergi ke Medan perang, tapi sampai sekarang dia belum kembali."
"Aku sangat merindukan ayah, bisakah tuan putri membawa ayahku kembali?"
Jeya terdiam kaku, matanya menatap wajah anak itu, "Siapa nama ayahmu? Aku akan membawa nya kembali untukmu!"
Belum sempat anak itu menjawab, seorang wanita berbaju kumuh menghampiri mereka lalu bersujud secara tiba-tiba.
"Tuan putri maafkan putri hamba! Dia tidak tau aturan sejak kecil! Mohon ampuni putriku!" Tubuh wanita tersebut bergetar dibawah kaki Jeya.
Jeya menatap keseliling nya, tidak ada orang yang berani mendekat atau bersuara, "Kamu berdiri lah."
Setelahnya dia segera berdiri, namun tubuhnya masih sedikit membungkuk, "Ziana, cepat minta maaf ke tuan putri!"
"Ibu, aku meminta ayahku, mengapa aku harus meminta maaf?!" Anak kecil itu berteriak didepan ibunya.
"Ayahmu tidak bisa kembali sekarang! Bisakah kamu bersikap sopan?! Apakah kamu ingin membunuh ibumu ini?!"
Melihat keributan, Balvier segera menghampiri kakaknya dan sepasang anak dan ibu didepannya, "Kakak pertama, ada apa ini?"
Jeya menggeleng pelan, "Tidak apa-apa, kita harus segera kembali.."
Sebelum memasuki kereta kuda, dia menatap gadis kecil itu, "Semoga kita bisa bertemu lagi, Ziana.."
Kereta kuda milik Jeya dan pasukannya berjalan pergi melewati kerumunan masyarakat, didalam kereta kuda Jeya sibuk memikirkan tentang anak tadi.
"Adik, apakah kamu tau siapa ayah anak itu?" Jeya membuka jendela dan menatap Balvier.
Balvier menoleh, lalu berpikir sejenak, "Sepertinya dia anak dari jendral pasukan militer kita."
"Dimana jendral itu sekarang?"
"Dia sudah gugur di Medan perang dua tahun lalu, ada apa kak? Apakah anak itu menyinggungmu?"
Jeya terdiam kaku, pantas saja ayah anak itu tidak pernah kembali. Ayahnya sudah mati, tidak akan bisa kembali lagi.
"Anak itu meminta sesuatu kepadaku."
"Dia meminta apa?"
"Dia meminta ayahnya..."
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
WITH YOU FOREVER
Fantasia'Bersamamu selamanya' bukan hanya sekedar janji manis yang terucap dibibir lalu dilupakan, mereka berjanji untuk sehidup dan semati bersama. Entah itu didunia atau di akhirat Pangeran Leanza akan terus menemani putri yang sangat dia cintai, Beliver...