01. AWAL DARI SEMUANYA

144 86 4
                                    

Bugh!

Bugh!

Terdengar suara pukulan yang bersumber dari sebuah rumah yang sangat mewah bak istana. Suara pertengkaran sudah biasa terdengar dari rumah tersebut, sudah seperti alunan musik bagi para penghuninya. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman namun tidaklah berarti bagi Bharra. Suara isakan tangis seorang perempuan pun menghiasi pertengkaran mereka.

"CUKUP MAS ITU ANAK KAMU!" Ujar seorang wanita paruh baya sambil terisak melihat anak dan suaminya bertengkar, dia Rinjani.

"Saya nggak pernah punya anak kaya dia!" Pekik seorang pria paruh baya sambil menunjuk anak remaja yang sedang tertunduk menahan sakit, dia Erlangga.

"Inget mas! dia itu anak kamu, darah daging kamu!" Ujar Rinjani lagi masih terisak. Erlangga terdiam mendengar penuturan Rinjani. Ia melirik sekilas melihat anaknya yang sedang menahan sakit karena terkena pukulan darinya. Setelahnya Erlangga melenggangkan kakinya pergi keluar dari rumah, meninggalkan dua insan yang bersamanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Rinjani pun langsung berlari menghampiri anaknya.

"Dasar psikopat!" Hardik Bharra.

"Kamu nggak papa?" Tanya Rinjani khawatir sambil memegang kedua pipi Bharra.

Bharra menggeleng sambil memegang pipi kirinya yang membiru. "Kamu tunggu di sofa ya, Mamah mau ngambil kompresan dulu." Ucap Rinjani kemudian pergi menuju dapur untuk mengambil air yang digunakan untuk mengompres luka memar Bharra. Bharra pun duduk di sofa, menunggu Rinjani seperti yang ia pinta.

Tak berselang lama akhirnya Rinjani membawa sebuah baskom yang berisi air dan handuk kecil. Ia duduk disebelah Bharra. "Kamu habis dari mana sih jam segini baru pulang?" Tanya Rinjani sambil mengompres luka memar Bharra.

"Aw, pelan-pelan Mah." Pekik Bharra. "Habis main sama temen-temen." Jawabnya.

"Main apa sampai larut malam gini? Terus muka kamu kenapa pada memar semua?" Tanya Rinjani, wajah Bharra memar setelah pergi dari rumah.

"Wajah Bharra memar kan karena di pukul Papah." Ujarnya mengelak.

"Makanya kalau udah tahu Papanya galak tuh jangan buat dia marah." Ucap Rinjani menasihati Bharra.

"Udah biasa kok Bharra diginiin." Memang, Erlangga menggunakan cara kekerasan untuk mendidik Bharra. Dari kecil ia sudah menanamkan sifat kedisiplinan kepada Bharra, dan jika Bharra melakukan kesalahan ia tak segan-segan untuk memberikannya hukuman secara fisik.

"Bharra..... Papah kamu tuh sebenarnya sayang sama kamu, cuman cara ngungkapinnya aja yang salah." Katanya.

"Emang ada? seorang Ayah dengan entengnya mukul anak sendiri." Sanggah Bharra tak terima dengan perkataan Rinjani.

Rinjani menarik nafas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. "Papah  kamu tuh dulu nggak pernah ngerasain kasih sayang seorang Ayah, kakek kamu meninggal waktu Papah masih kecil, jadi Papah nggak tahu gimana ngedidik anak dengan cara yang baik." Ujarnya.

"Sama aja." Sanggah Bharra lagi.

"Udah sekarang kamu masuk ke kamar, ganti baju, cuci muka terus langsung tidur, ingat JANGAN BEGADANG." Pinta Rinjani dengan menekan kalimat terakhir. "Besok jangan sampai terlat lagi." Timpalnya.

"Iya Mamah sayang....."

Berbeda dengan Erlangga, Rinjani justru mendidik Bharra dengan cara yang lemah lembut, ia tidak pernah memukulinya, hanya menasihatinya jika Bharra melakukan kesalahan.

Bharra pun berjalan menuju kamarnya yang berada dilantai dua. Ia langsung mengganti pakaiannya dan membaringkan tubuhnya diatas kasur big size miliknya.

BHARRA: The Hidden Pain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang