02. LENGKAP, TAPI NGGAK BAHAGIA

124 83 3
                                    

"Nggak itung-itung banget sumpah kalau ngasih hukuman." Gerutu Bharra. "Tapi salah gue juga sih." Timpalnya sambil menyikat wc yang ada di toilet, ini sudah toilet ke tiga yang telah Bharra bersihkan. Seragam dan rambutnya kini sudah basah karena keringat. Suara langkah kaki terdengar dari luar toilet, tak lama kemudian terlihat seorang cowok berkulit putih, berpenampilan rapih memasuki toilet tersebut.

Cowok tersebut melirikkan matanya menatap Bharra, ia juga menampilkan senyuman mengejek untuk Bharra. "Ngapain lo kesini?" Tanya Bharra cetus.

"Ini toilet umum, jadi bebas kalau gue mau kesini." Ujar cowok tersebut kemudian berjalan memasuki toilet yang berada disebelah toilet yang Bharra bersihkan. Bharra pun mendengus kesal.

Setelah beberapa saat, cowok tersebut keluar dari dalam toiletnya. "Dihukum lagi ya?" Tanyanya dengan nada yang meremehkan.

"Bacot lo." Cecar Bharra. Ingin sekali rasanya Bharra menendang ginjal cowok yang sedang bersamanya ini, dia adalah Dewangga, teman sekelas dan teman sebangku Bharra. Orangnya pendiam, kutu buku, berbicara jika ada perlunya saja. Dulu ketika Bharra baru bertemu dengannya, sikap Dewangga sangatlah cuek, jarang berbicara dan tidak memperdulikan urusan orang, namun setelah bertemu dengan Bharra, perlahan sikap cueknya itu hilang. Meskipun menjengkelkan, Dewangga selalu ada jika Bharra membutuhkan.

"Butuh bantuan?" Tanya Dewangga.

Mata Bharra langsung berbinar. "Baik banget lo." Ucapnya kagum sambil menyodorkan sikat wc kepada Dewangga.

Dewangga mengangkat satu alisnya. "Maksud lo apa ngasih gue sikat wc?" Tanyanya bingung.

"Lah tadi kan lo nawarin gue, butuh bantuan apa nggak, ya gue butuh lah anjir." Jawab Bharra.

"Gue kan cuman nanya, bukan nawarin bantuan." Ucapnya tanpa ekspresi, setelah mengatakan itu, Dewangga langsung melarikan diri dari amukan Bharra yang sebentar lagi pasti akan meluap.

"SETAN!" Cecar Bharra.

*****

Setelah menyelesaikan hukuman, bukannya langsung kembali ke kelas, Bharra justru pergi ke kantin untuk makan dan minum. "Buk es jeruknya satu ya, sama gorengannya seporsi." Ujar Bharra kepada Ibu penjual kantin bernama Buk Indah.

"Bentar Ibuk buatkan." Jawab Buk Indah.

Tak lama kemudian Buk Indah membawa nampan berwarna biru yang diatasnya terletak sebuah gelas yang berisi es jeruk dan seporsi gorengan yang Bharra pesan. Buk Indah meletakkan pesanan Bharra diatas meja. "Habis dihukum lagi?" Tanya Buk Indah setelah melihat seragam Bharra yang basah karena keringat. Bharra hanya mengangguk sebagai jawaban sambil menyeruput es jeruknya. "Kamu ini, kapan mau berubah hm?" Ujar Buk Indah.

"Nggak bakalan berubah." Celetuk Bharra yang sedang memakan gorengannya. Tiba-tiba telinga Bharra di jewer oleh Buk Indah yang sedang duduk disebelahnya, ia pun memekik kesakitan. "Ad-aduh, sakit Buk." Pekiknya.

"Kalau kamu begini terus masa depan kamu nggak bakalan sukses." Ucap Buk Indah setelah melepaskan jewerannya.

"Kata siapa? kita kan nggak tahu nanti kedepannya bakal jadi kaya apa. Siapa tahu nanti Bharra punya istri yang cantik, pinter masak, perhatian terus mau punya anak yang banyak." Sanggahnya.

Buk Indah hanya menggelengkan kepalanya. "Masih sekolah tapi pikirannya udah kemana-mana." Bharra hanya menyengir kuda.

Bharra adalah pembeli langganan kantin Buk Indah, hampir setiap hari ia datang ke kantin, entah untuk membeli makanan atau sekedar bolos pelajaran, jadi tak heran jika kedekatan Bharra dengan Buk Indah sudah seperti Ibu dan anak.

BHARRA: The Hidden Pain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang