09. HUJAN

127 87 4
                                    

Jangan skip narasi.


*****

Didalam kamarnya yang luas, kini Bharra sedang berbaring dengan posisi tangan yang dijadikan bantal dan semua bantal yang ada di kasur ia letakkan untuk menyangga kakinya. "Chel..... Chel....., kenapa isi kepala gue tuh cuman lo?" Gumamnya sambil membayangkan wajah cantik Rachel. "Gue nggak pernah jatuh cinta sampe segila ini, dan bahkan kalau diinget-inget gue nggak pernah jatuh cinta sama cewek." Setelah mengucapkan itu Bharra meraba tangannya untuk mencari handphone yang ada di kasur. Setelah menemukannya ia membuka galeri dan disitu terdapat foto Rachel yang sedang menulis, ia mendapatkan foto tersebut dari Jasmine. Bharra menyuruh Jasmine untuk memotret wajah Rachel diam-diam. Jasmine adalah sepupu Ezra, Jasmine juga tipikal orang yang mudah diajak kerjasama, Jadi Bharra mudah untuk meminta tolong kepada Jasmine.

Suara hujan menghiasi kesendirian Bharra, ia bangun dari atas ranjangnya dan berjalan turun menuju ke depan rumah.

Sesampainya diruang tamu ternyata ada Erlangga dan Rinjani yang sedang duduk di sofa. Karena hari ini adalah hari minggu, maka mereka libur bekerja. Sepertinya mereka sedang membicarakan tentang bisnis perusahaan mereka. "Mau kemana?" Tanya Rinjani yang sedang memainkan laptopnya.

"Kesini bentar." Jawab Bharra sambil berjalan lagi menuju teras. "Wah..... hujan." Ucapnya dengan mata yang berbinar. "Gue mau hujan-hujanan ah." Celetuknya.

"Nggak usah hujan-hujanan, udah gede, malu sama anak kecil tuh didepan." Ucap Erlangga tegas sambil memandangi pundak Bharra dari belakang.

Bharra mendengus kesal. "Berisik lo." Ujarnya lirih dan yang pasti tidak didengar oleh Erlangga, jika Papanya mendengar bisa-bisa ia habis diceramahi. Sedari kecil Bharra memang suka bermain hujan-hujanan. Namun Erlangga dan Rinjani melarangnya, alhasil ia hanya hujan-hujanan jika mereka sedang pergi bekerja.

"Bang Bharra sini main hujan-hujanan." Ajak anak kecil yang sedang main hujan-hujanan didepan rumah Bharra, bernama Arjuna.

"Iya Bang." Jawab anak kembar yang juga sedang bermain hujan-hujanan, bernama Rasya dan Arsya. Mereka bertiga adalah anak dari tetangga Bharra, mereka sering main ke rumah Bharra untuk sekedar bermain. Bharra juga tak jarang untuk mentraktir jajan mereka.

Bharra menoleh kebelakang dan ternyata Erlangga sedang mengawasinya sejak tadi. Bisa nggak sih pergi aja sana. Gerutunya dalam hati. Bharra berjalan ke ruang tamu hendak meminta izin kepada Rinjani untuk hujan-hujanan, namun sudah dihadiahi oleh larangan dari Erlangga.

"Mau apa? nggak usah ngerengek minta hujan-hujanan." Ujar Erlangga, seakan tahu apa isi hati Bharra.

Bharra memutar bola matanya malas. "Bharra mau hujan-hujanan yah Mah." Ucap Bharra kepada Rinjani.

"Nggak boleh." Sangga Erlangga cepat.

Bharra berdecak malas. "Ck, Bharra izinnya sama Mamah, bukan sama Papah." Ujarnya masih setia berdiri didepan pintu.

Erlangga hanya menarik nafas panjang dan memejamkan matanya sejenak. Rinjani pun angkat bicara. "Bharra, nurut apa kata Papah ya."

Bharra membuang nafasnya gusar, dan ia kembali menuju teras. Bukan Bharra namanya kalau tidak nekat, Bharra berjalan menuju bagasi kemudian menyalakan motornya dan pergi bermain hujan-hujanan. "Juna, tolong bukain pagarnya dong." Pinta Bharra kepada Arjuna. Arjuna pun menuruti apa yang Bharra perintah.

Erlangga yang melihat Bharra dari dalam rumah pun hanya bisa terdiam, anak tunggalnya ini memang benar-benar menguji kesabarannya. "Gara-gara kamu tuh terlalu manja-in dia." Ucap Erlangga. Rinjani hanya diam sambil memainkan laptopnya lagi.

BHARRA: The Hidden Pain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang