15. MAK LAMPIR

29 14 0
                                    

Komen dong, kalian baca ini jam berapa?

*****

Dewangga terlihat sedang berdiri disebuah rumah yang bercat dominan putih serta gerbang besi bercat hitam yang dipadu padankan warna emas. Ia berjalan lebih dekat untuk menekan bel rumah tersebut.

Setelah bel berbunyi tak lama kemudian muncullah seorang wanita setengah baya keluar dari rumah itu. "Mas nya siapa ya? terus ada perlu apa ke sini?" Tanya Bi Mina—asisten rumah tangga Salsa.

"Mak lampir, eh m-maksudnya Salsa, udah pulang?" Tanya Dewangga.

"Oh mas nya temennya Non Salsa ya?" Tanya balik Bi Mina.

"Iya."

"Non Salsa nya belum pulang mas, kayaknya sekitar jam tujuh."

"Oh, yaudah saya nunggu disini aja." Ucap Dewangga.

"Mas yakin mau nungguin Non Salsa pulang? Masih lama lho Mas, mending sekarang mas pulang dulu aja, terus balik lagi kesini." Saran Bi Mina karena melihat Dewangga yang masih mengenakan seragam sekolahnya.

"Nggak papa saya tunggu disini aja." Tolak Dewangga.

"Beneran? Kalau gitu nunggunya didalam aja mas." Titah Bi Mina.

"Nggak usah, nggak papa saya disini aja." Keukeh Dewangga.

"Kalau gitu saya balik ke dalam lagi ya mas." Pamit Bi Mina yang diangguki oleh Dewangga.

Bi Mina berjalan lagi kedalam rumah, ia berhenti sejenak dan menolehkan kepalanya untuk melihat Dewangga di seberang gerbang yang sedang berjongkok sambil memainkan handphonenya. "Dasar anak sekarang, lebih mentingin pacar ketimbang dirinya sendiri." Gumam Bi Mina tak habis pikir kepada Dewangga. "Tapi, bukannya Non Salsa mau dijodohin sama anak temennya Tuan ya?" Bingung Bi Mina. "Nggak tahu ah, pusing." Timpalnya.

Sementara diseberang pagar, Dewangga sedang berjongkok sambil sesekali mengalihkan pandanganya melihat jalan raya di depan rumah Salsa yang sedikit ramai. Tiba-tiba perutnya kini bersuara, menandakan bahwa ia tengah lapar.

"Gue laper banget sumpah, mau beli roti tapi disini nggak ada minimarket." Monolognya.

Kedua matanya melihat sekeliling mencari kedai untuk ia membeli makanan. Tak sengaja Dewangga melihat warung makan yang terletak tak jauh dari rumah Salsa. Dewangga pun segera menyebrang untuk bisa sampai di warung tersebut.

Setelah sampai, bukannya langsung memesan makanan Dewangga malah berdiri mematung di depan pintu warung dengan matanya yang melihat orang-orang yang sedang makan.

"Mau beli apa mas?" Tanya ibu pemilik warung.

Hening, tidak ada jawaban.

"Mas?" Tegur Ibu pemilik warung kepada Dewangga.

"Ngapain lo ngeliatin gue hah?! Mau beli ya tinggal mesen!" Ujar laki-laki berpenampilan layaknya preman yang sedang memakan seporsi nasi.

Dewangga langsung tersadar. "Saya mau beli makanan yang bisa dimakan."

Semua orang yang berada didalam warung itu terdiam. "Maksudnya?" Tanya Ibu itu, tak paham dengan ucapan Dewangga.

"Lo nggak pernah makan di warteg ya?" Ujar laki-laki itu lagi yang bernama Rohmat.

"Jadi resto ini namanya warteg?" Pekik Dewangga dengan wajah polosnya.

Bang Rohmat berdiri dari duduknya dan merangkul Dewangga, menyuruhnya untuk duduk disampingnya. "Gue kasih tau ya, tempat ini tuh bukan restoran, tapi WARTEG." Kata Bang Rohmat dengan menekan kalimat terakhirnya.

BHARRA: The Hidden Pain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang