03. HIDDEN

118 83 0
                                    

Tak ingin berlarut-larut dalam kesendirian, Bharra berniat untuk mengajak anak-anak Athlantic untuk pergi ke markas sehabis isya. "Widih, gue ganteng banget ya ternyata." Ucap Bharra dengan percaya diri di depan cermin. Ia tengah bersiap untuk pergi ke markas. Bharra mengenakan celana pendek selutut serta kaos polos berwarna hitam yang dipadukan dengan jaket bomber berwarna coklat.

Bharra berjalan menuruni anak tangga, setelah sampai di ruang tamu, Bharra melihat Bi Ida yang  sedang tertidur diatas sofa, sepertinya kelelahan karena pekerjaan. Niatnya Bharra ingin pamit kepada Bi Ida, namun ia tak tega untuk membangunkannya, jadi ia berniat untuk pamit ke Mang Ujang saja.

Setelah keluar dari rumah, Bharra mendapati Mang Ujang yang sedang membeli bakso di penjual gerobak keliling yang berhenti di depan pagar rumah Bharra. "Mang Ujang, Bharra pergi dulu ya." Pamit Bharra.

Merasa dirinya dipanggil, Mang Ujang pun membalikkan badannya dan melihat Bharra sedang berjalan menuju motornya yang berada di bagasi. "Oh iya Den, Aden nggak mau beli bakso?" Tawar Mang Ujang.

Bharra sudah duduk diatas motornya dan hendak memakai helm. "Nggak usah Mang, buat Bi Ida aja, kayaknya lagi kecapean tuh di sofa." Ujarnya.

"Oh yaudah atuh, nanti Mamang belikan sekalian."

Bharra mengangguk kemudian menyalakan mesin motornya dan melesat pergi, menerabas jalan ibu kota yang terbilang cukup ramai. Ia menyalip pengendara lain yang berada didepannya. Butiran bintang yang bersinar di langit malam ini sudah cukup untuk mengobati rasa kesepian Bharra.

Bharra berhenti karena lampu lalulintas berwarna merah, saat ia melirikkan matanya mengarah ke kaca spion, ternyata segerombolan geng Scorchers tengah membuntutinya, di posisi paling depan ada Rendy, ketua geng Scorchers, dan disampingnya adalah Vincent, wakil ketua Scorchers.

"Sial, gue dibuntuti." Umpat Bharra.

Kini lampu sudah berubah menjadi hijau, tanpa berlama-lama Bharra pun menarik gas motornya. Ia sengaja melewati jalan yang berkelok-kelok supaya Rendy dan anak buahnya kehilangan jejak. Nahas, jalan yang Bharra ambil salah, seharusnya ia berbelok ke arah kanan, namun ia justru membelokkannya ke arah kiri, sekarang jalan yang ada didepannya ini buntu, ketika ingin membalikkan motornya, sudah ada Rendy dan anak buahnya yang mengepung Bharra.

Bharra turun dari motornya dan merogoh saku celananya, mengambil benda pipih yang akan ia gunakan untuk menelpon seseorang. Sejenak ia berfikir, jika ia menelepon anak Athlantic pasti kini mereka sudah ada di markas, dan letak markas dengan tempatnya sekarang cukup jauh, akhirnya ia pun menelepon Dewangga karena rumahnya tak jauh dengan tempatnya sekarang. Ia membuka layar handphonenya, mencari kontak seseorang, disitu tertulis 'Buddy' ia pun segera menekan tombol memanggil. Tak lama kemudian Dewangga menjawab teleponnya.

"Halo?" Jawab Dewangga di seberang sana.

"Halo Wa. Wa, tolongin gue, gue dikepung Rendy sama anak buahnya."

"Males, minta tolong aja sama anak buah lo."

"CEPETAN ANJING GUE NGGAK BERCANDA!" Ucap Bharra panik karena Rendy dan anak buahnya sudah turun dari atas motor dan berjalan mendekati Bharra.

Dewangga yang mendengar teriakkan Bharra pun menjauhkan handphonenya dari telinga. "Ck, lo dimana?"

"Di jalan buntu deket rumah lo." Setelah mengucapkan itu, Bharra mematikan teleponnya secara sepihak.

Rendy melangkah maju mendekati Bharra. Bharra memasukkan handphonenya ke dalam saku celana lagi, ia sudah siap dengan kuda-kudanya. "SERANG!" Instruksi Rendy, menyuruh agar anak buahnya menyerang Bharra. Anak buahnya pun menuruti apa yang ia perintah.

BHARRA: The Hidden Pain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang