10

435 59 13
                                    

● Happy reading ●

Selama seminggu setelah Shani menerima pesan dari sang ayah terlihat rumah begitu runyam. Tidak ada suara selain langkah kaki disana. Bundanya tidak pernah menampilkan senyuman dan berbicara padanya lagi saat bertemu, pulang larut, dan pergi subuh juga. Sang bunda seperti enggan berada di rumah hingga buru-buru pergi dan berada diluar sepanjang hari.

Sedangkan Gracia, dia tidak pernah melihatnya atau mendengar kabarnya semenjak kabur. Manusia itu seperti ditelan bumi. Ya, walaupun kemarin sama saja kondisinya. Tapi entah kenapa, kondisi sekarang berbeda dengan kemarin. Sekarang terasa sepi.

Pesan ayahnya juga membuatnya masih bertanya-tanya hingga sekarang. Apa maksud berhasil itu? Apa yang dilakukan sang ayah? Dan kenapa setelah mengirim pesan itu nomor ayahnya tidak bisa dihubungi? Shani pusing dibuatnya.

"Shani!"

"Shani!"

Feni yang berada disamping Shani menyenggol bahu temannya itu hingga Shani sadar dari lamunannya dan menatap dirinya datar. Feni yang ditatap datar menunjuk dokter senior didepan mereka menggunakan matanya.

"Shani, kalau tidak ingin berada disini harap keluar."

Mendengar namanya disebut membuat Shani beralih menatap dokter senior tersebut lalu menunduk beberapa kali dengan mengucap maaf. Dia tidak sadar melamun dalam jam koasnya. Dia merutuki dirinya dalam hati kenapa harus sekarang juga dirinya melamun. Apalagi semua orang langsung menatapnya. Ingin menghilang rasanya.

"Shani bodoh!" Rutuknya.

Feni yang berada disampingnya menatapnya dengan tatapan penuh makna. Mungkin sehabis ini, temannya itu akan menarik dirinya lalu melontarkan banyak pertanyaan padanya.

.-

"Bunda, Gre pusing. Tolong tahan sebentar."

Veranda menatap tidak peduli anak bungsunya? Atau anak kedua karena dia punya anak lain?

Wajahnya yang datar membuat Gracia yang berbaring lemah tidak ada harapan untuk menghentikannya. Lagi dan lagi, dia memberikan suntikan pada putrinya itu.

Mata sayu Gracia tidak bisa dia tutup karena rasa sakit kembali menyerang tubuhnya. Wajahnya yang sudah pucat tidak membuat sang bunda mengasihaninya untuk sekedar memberinya istirahat. Sudah seminggu dia tersiksa dengan obat-obatan yang diterima lebih dari takaran seperti kemarin-kemarin. Tidak ada jeda untuknya beristirahat dengan tenang.

"Bunda.. sebentar." Suaranya yang parau meminta kembali karena bundanya ingin menyuntiknya lagi. Matanya sudah berkaca-kaca ingin mengeluarkan rasa sakit dari air matanya.

Veranda tetap mendekatkan suntik ditangannya pada tangan kanan Gracia setelah tadi berhasil menyuntiknya di tangan kiri. Hingga putrinya itu menangis pun, dia tetap melakukannya.

Pagi yang seharusnya dinikmati untuk menghirup udara segar dengan matahari pagi harus hilang dengan harum obat-obatan dan rasa sakit ditubuh.

Gracia tidak tahu sampai kapan dia tersiksa ditempat barunya ini.

Seminggu yang lalu bundanya menyuruh orang lain memindahkannya dari ruang pribadinya ke tempat sekarang. Ruangan bernuansa putih seperti ruangan rawat di Rumah sakit. Dimana dia? Jam berapa sekarang? Kapan bundanya berhenti? Dia tidak akan pernah tahu itu.

ColdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang