14

213 54 5
                                    

~Happy Reading~

Jinan duduk sendirian di tangga darurat rumah sakit. Menangis dengan keadaan temannya yang dia tahu bahwa kesembuhannya tidak ada. Kepalanya menunduk dengan tangannya sibuk menghapus air matanya yang tidak hentinya berjatuhan. "Kenapa? Kenapa kau menutupinya, Gre? Kita tidak sedekat itu ya, sampai kau memendam semuanya sendiri?" Dia tertawa miris. "Aku kira kita sudah sangat dekat, ternyata hanya aku yang merasa dekat dengan mu. Kau membuatku sangat terluka, Gre." Isakannya kian kuat dengan rasa sesak di dadanya.

Katakan, siapa yang baik-baik saja setelah tahu temannya tidak akan berumur panjang. Dan katakan, siapa yang baik-baik saja setelah teman mu sendiri hanya diam memendam rasa sakitny sendiri? Tidak ada yang baik-baik saja.

Tarikan panjang Jinan lakukan, meredakan rasa sakit di dadanya dan memberi ruang untuk paru-parunya bernapas dengan baik. "Semua akan baik-baik saja, Nan. Buat kenangan indah dengan mereka sebelum hal buruk itu terjadi. Kau pasti bisa, Nan. Kau pasti bisa." Ucap Jinan pada dirinya sendiri dan kembali terisak. Kata-kata penenang ini tidak cukup menutup rasa takut akan kehilangan orang tersayangnya.

Sedangkan Shani yang duduk di samping Gracia menatap sang adik sayu yang masih terlelap. Matanya sudah bengkak akibat banyak menangis di luar.

"Kak..."

Shani mengerjap saat Gracia memanggilnya. Kepalanya mendekat dan senyuman dia tampilkan menutupi rasa sedihnya. Tapi senyumnya memudar saat Gracia kembali bersuara.

"Aku takut mati, kak."

Bagaimana Shani mengatakan kenyataannya pada Gracia? Apakah dia harus berbohong atau dia harus mengatakan kenyataan pahit itu? Bahkan sekarang Shani tidak sanggup untuk mengucap sepatah kata pun karena ucapan Gracia itu.

Gracia mengelus wajah Shani membuat sang empunya sedikit terkejut. "Jaga aku, kak."

"Kakak pasti menjagamu tanpa kau suruh." Suara Shani berubah parau menahan rasa sakit yang menjalar di tenggorokannya. "Baru bangun kenapa bisa ngomong gitu?"

"Aku mimpi saat kak Shani, Jinan, Anin dan Zee lagi main-main sama ku, tiba-tiba semua menghilang dan jadi gelap. Aku sendirian dan tiba-tiba bunda sudah duduk di depan ku memegang suntik. Aku takut. Setelahnya semua kembali gelap selesai bunda menyuntikku yang aku tidak tahu kapan. Aku kira aku sudah mati." Jelas Gracia dengan derai air mata. Dia benar-benar ketakukan karena mimpi itu terasa nyata.

Shani bangkit berdiri lalu memeluk tubuh Gracia. Shani bernapas lega setelah mengetahui kenapa Gracia mengatakan hal itu. Tapi tetap saja dia merasa takut. Bahkan mimpi yang dijelaskan Gracia barusan mengarah ke sana.

"Hangat."

"Kau kedinginan?"

"Tidak. Mungkin aku akan terus meminta pelukan mu, rasanya nyaman berada pada pelukan mu." Gracia tersenyum dengan mata tertutup, merasakan aman, nyaman, dan kehangatan dari seseorang yang satu darah dengannya. 

Shani mengigit bibir dalamnya menahan rasa sesak yang kembali datang. Pelukannya mengerat pada tubuh kurus Gracia. "Se-Setiap saat kalau kau minta pelukan ku, aku akan memberikannya."

"Janji?"

"Janji"

"Kalau kakak bohong, pantat kakak bau kayu jati."

Shani terkekeh mendengarnya. "Kakak bakal selalu ada di samping mu, sampai maut mengambilmu."

***

"Dia kakak ku. Bukan kakak kandung tapi dia sudah kuanggap sama seperti kakak kandungku." 
Sore ini Zee sedang berbagi cerita dengan beberapa keluarga pasien disana menunggu Anin bangun dari tidurnya. Anin sepertinya sangat suka tidur sampai sore ini dia masih belum mau bangun.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ColdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang